WZPI dan Penguatan Zakat Global*

Irfan Syauqi Beik**

WZF (World Zakat Forum), yang saat ini beranggotakan 40 negara, pada hari Selasa 22 Juni 2021 lalu telah melaksanakan kegiatan public expose atas alat ukur kinerja zakat global yang baru diluncurkannya, yaitu World Zakat Performance Index (WZPI). Kegiatan tersebut merupakan bagian dari sosialisasi atas konsep WZPI yang telah disusun WZF melalui institusi WZF Research and Development (WZF RnD). WZF RnD bersama dengan WZF Youth merupakan dua institusi yang diresmikan pada saat Pertemuan Tahunan dan Konferensi WZF 2020 lalu. WZF Youth merupakan sayap WZF yang ditugaskan untuk yang mengembangkan kapasitas amil muda secara internasional, sementara mandat utama WZF RnD adalah bagaimana melahirkan beragam kajian dan riset strategis yang dapat membantu negara-negara anggota WZF dalam mengoptimalkan semua potensi zakat yang dimilikinya.

Lahirnya WZPI yang diinisiasi oleh WZF RnD merupakan terobosan yang sangat luar biasa dalam konteks gerakan zakat dunia. Sebelum adanya WZPI, dunia perzakatan global belum memiliki alat ukur kinerja perzakatan yang dapat dibandingkan antara satu negara dengan negara lainnya. Untuk itu, peluncuran WZPI merupakan langkah maju yang menjadi tonggak bersejarah bagi gerakan zakat dunia. Tinggal bagaimana WZPI ini diterapkan secara bertahap, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di setiap negara anggota WZF.

Secara umum, WZPI terdiri atas lima dimensi utama. Kelimanya adalah landasan hukum, supervisi (pengawasan) zakat, pelaporan zakat, penghimpunan zakat, dan penyaluran zakat. Setiap dimensi ini memiliki variabel yang dinilai berdasarkan kriteria tertentu yang diukur melalui skala Likert. WZPI ini didesain sebagai multi-stage weighted index, dimana setiap dimensi dan variabel dapat dihitung nilai indeksnya masing-masing. Dengan kata lain, seluruh komponen penyusun indeks ini dapat dipecah menjadi indeks tersendiri, dan WZPI pada dasarnya merupakan agregasi dari indeks-indeks komponen pembentuknya.

Pada dimensi yang pertama, yaitu landasan (pondasi) hukum, ada tiga variabel yang dijadikan sebagai referensi penilaian. Pertama, adanya bingkai hukum yang menjadi dasar beroperasinya suatu lembaga zakat atau lembaga filantropi Islam. Landasan hukum ini dapat berupa UU zakat, atau bisa juga juga berupa UU yang dapat dijadikan sebagai rujukan oleh lembaga zakat apabila suatu negara belum memiliki UU zakat. Misalnya, UU tentang yayasan atau UU tentang donasi sosial.

Saat ini di dunia Islam baru ada 17 negara anggota OKI yang memiliki UU tentang zakat termasuk Indonesia, dan satu negara muslim minoritas, yaitu Singapura, yang memiliki UU yang mewadahi kegiatan perzakatan. Dalam Muslim Administration Law Act Singapura disebutkan bahwa zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan setiap muslim yang tergolong muzakki, dan ada ancaman denda dan atau penjara bagi yang tidak menunaikannya.

Selain itu, masih pada dimensi pertama ini, variabel yang perlu diperhatikan adalah terkait aktivitas yang dapat dilakukan dan kriteria untuk lisensi atau perizinan menjadi lembaga zakat. Ini semua harus dijelaskan dalam peraturan yang ada. Tujuannya adalah memberikan kepastian hukum sehingga institusi zakat dapat beroperasi dengan baik tanpa harus khawatir akan bertentangan dengan hukum yang ada.

Selanjutnya, dimensi yang kedua adalah dimensi supervisi atau pengawasan zakat. Aspek pengawasan ini sangat penting untuk memastikan bahwa institusi zakat bekerja sesuai dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan yang berlaku. Kualitas pengawasan zakat ini sangat ditentukan oleh tiga variabel utama, yaitu pendekatan pengawasan, teknik dan alat pengawasan, serta aspek pelaporan hasil pengawasan. Institusi yang bertanggung jawab dalam hal pengawasan perlu dijelaskan oleh UU terkait. Dalam konteks Indonesia misalnya, otoritas pengawasan zakat berada di tangan Kementerian Agama dan DPR. Sementara di Inggris, lembaga zakat diatur oleh UU Yayasan dan UU tentang Charity / Donasi, dan institusi yang mengatur dan mengawasinya adalah Charity Commission (Komisi Donasi) pemerintah Inggris.

Dimensi yang ketiga adalah pelaporan zakat, dimana dalam pelaporan ini ada tiga variabel yang perlu mendapat perhatian. Ketiganya adalah laporan keuangan yang teraudit, transparansi keuangan melalui penyampaian laporan terbuka kepada masyarakat, dan adanya laporan tahunan lembaga zakat yang dapat diakses publik. Tujuan dimensi ini adalah untuk menjamin adanya akuntabilitas keuangan dan kegiatan pengelolaan zakat, sehingga kepercayaan masyarakat dapat diraih.

Adapun dua dimensi terakhir adalah dimensi penghimpunan zakat dan dimensi penyaluran zakat. Pada sisi penghimpunan, ada lima variabel yang perlu diperhatikan, yaitu manajemen pengumpulan, pertumbuhan penghimpunan zakat, manajemen risiko pengumpulan zakat, tingkat literasi zakat publik, dan basis data muzakki. Sementara pada sisi penyaluran, terdapat lima variabel yang menentukan kualitas penyaluran zakat, yaitu manajemen penyaluran, rasio ACR (Allocation to Collection Ratio) yang membandingkan jumlah yang disalurkan dengan jumlah yang dihimpun, pengukuran dampak zakat terhadap mustahik, manajemen risiko penyaluran, dan basis data mustahik.

Dengan adanya indeks WZPI ini diharapkan kualitas tata kelola perzakatan dapat ditingkatkan. Juga WZPI ini dapat dijadikan sebagai alat untuk menilai hal-hal apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan pengelolaan zakat yang ada saat ini, sehingga dapat diformulasikan kebijakan zakat yang tepat dan efektif. Tinggal sekarang bagaimana tahapan implementasi WZPI ini. Diperlukan adanya sosialisasi yang lebih masif kepada negara anggota WZF, agar indeks ini dapat memberi manfaat seluas-luasnya bagi negara-negara anggota WZF yang ada. Wallaahu a’lam.

*Artikel telah dimuat di Rubrik Iqtishodia Republika 24 Juni 2021
**Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *