Implementasi Wakafnomics (Bagian 3)

Implementasi Wakafnomics (Bagian 3)

Irfan Syauqi Beik*

Pada bagian terakhir dari rangkaian tulisan mengenai implementasi wakafnomics ini, akan dibahas mengenai implementasi dari perspektif mikro. Pada pendekatan mikro, implementasi wakafnomics difokuskan pada dua hal. Pertama, upaya penguatan kinerja pengelolaan wakaf pada level kelembagaan nazhir, dan kedua, penguatan literasi dan partisipasi publik pada level individu atau keluarga. Keduanya sangat penting karena sangat menentukan wajah perwakafan pada tataran praktik.

Pada level kelembagaan nazhir, perlu dilakukan upaya-upaya untuk terus meningkatkan aspek profesionalitas, akuntabilitas, dan kompetensi nazhir. Untuk merealisasikannya, lembaga nazhir wajib memperhatikan dua prinsip utama, yaitu prinsip “dua aman”, yang terdiri atas aman syar’i dan aman regulasi, dan prinsip “tiga pertanggungjawaban”, yang terdiri atas pertanggungjawaban keuangan (financial accountability), pertanggungjawaban program (program accountability) dan pertanggungjawaban etika (ethical accountability). Implementasi prinsip-prinsip ini akan sangat memengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga wakaf.

Pada aspek aman syar’i, setiap institusi nazhir wajib memastikan bahwa keseluruhan proses pengelolaan wakaf tidak bertentangan dengan syariah. Jangan sampai ada praktik yang bertentangan secara diametral dengan tuntunan syariah. Misalnya, jika nazhir ingin menginvestasikan dana wakaf yang dikelolanya, maka investasi ini harus dipastikan dilakukan pada sektor-sektor usaha yang tidak melanggar syariah. Termasuk mekanisme investasinya harus bebas dari unsur-unsur yang diharamkan, seperti riba, gharar dan maysir. Karena itu, setiap institusi nazhir hendaknya memiliki dewan pengawas syariah yang kapabel, untuk memastikan adanya proses pengawasan syariah yang kredibel.

Selanjutnya pada aspek aman regulasi, semua lembaga nazhir wajib menjunjung tinggi pelaksanaan UU yang ada, yaitu UU No 41/2004 tentang Wakaf maupun UU yang terkait lainnya, seperti UU yang terkait dengan pengelolaan zakat, kelembagaan yayasan dan perseroan terbatas. Ini sangat penting agar pelaksanaan wakaf tidak menimbulkan persoalan secara hukum. Sebagai contoh, pemanfaatan dana yang menjadi hak nazhir harus mengikuti ketentuan yang ada saat ini, yaitu tidak boleh melebihi angka 10 persen dari hasil pengelolaan wakaf yang dilakukannya.

Adapun pada pertanggungjawaban keuangan, nazhir harus dapat mengelolan keuangan wakaf sesuai dengan PSAK 112, yang secara efektif berlaku sejak 2021 lalu. Selain itu, jika ada dana non-wakaf yang dikelolanya, seperti infak sedekah, maka pengelolaannya harus sesuai dengan PSAK terkait lainnya seperti PSAK 109. Dalam konteks ini, BWI telah merancang pedoman sistem akuntansi nazhir beserta implementasinya melalui platform digital. Tinggal penyelesaian dasar aturan hukumnya yang sudah masuk pada tahap akhir pembahasan. Diharapkan hal tersebut akan membantu memudahkan nazhir dalam mengelola6 keuangannya termasuk membantu memudahkan proses audit keuangan oleh pihak kantor akuntan publik, sehingga hasil audit tersebut diharapkan akan berujung pada opini wajar (dahulu WTP).

Sedangkan pada pertanggungjawaban program, institusi nazhir harus memastikan bahwa program-program yang dilakukannya memberikan maanfaat yang luas bagi masyarakat. Masyarakat harus dapat dengan mudah mengetahui dan mengakses program-program tersebut. Untuk itu, dalam Indeks Wakaf Nasional (IWN), diantara dimensi yang diukurnya terdapat dimensi outcome dan dimensi dampak. Pada dimensi outcome, kinerja wakaf diukur dari sisi rasio atau proporsi program wakaf produktif, yang mengukur seberapa besar proporsi program wakaf secara produktif dibandingkan dengan proporsi program wakaf secara sosial, dan jangkauan mauquf alaih, yang mengukur seberapa banyak penerima manfaat dari program pengelolaan wakaf yang dilakukan nazhir. Sementara pada dimensi dampak, IWN mencoba untuk mengukur dampak program wakaf terhadap masyarakat penerima manfaat wakaf, baik dari sisi kesejahteraan material spiritualnya, sisi pendidikan, kesehatan dan kemandiriannya, maupun dampaknya terhadap infrastruktur yang diperlukan masyarakat.

Selanjutnya pada pertanggungjawaban etika, yang wajib diperhatikan oleh nazhir adalah terkait kode etik yang mengikat nazhir, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan dalam pengelolaan wakaf, seperti aspek remunerasi dan perilaku para nazhir. Ini adalah hal yang sangat penting karena publik akan melihat kesesuaian antara pesan dakwah wakaf dengan perilaku para pengusung dakwah wakaf tersebut. Jika terdapat kesenjangan yang cukup parah, maka publik tidak akan mempercayakan lagi penyaluran wakafnya melalui lembaga nazhir. Sama halnya dengan kemaksiatan. Efek kemaksiatan, meski kecil, akan jauh lebih besar pada ustadz dibandingkan dengan pada preman. Inilah yang perlu dijaga oleh setiap pegiat wakaf agar potensi besar wakaf ini bisa terus digerakkan untuk membangkitkan kekuatan sosial ekonomi masyarakat.

Selain prinsip “dua aman” dan “tiga pertanggungjawaban” di atas, maka implementasi wakafnomics pada level mikro ini juga memerlukan adanya inovasi berkelanjutan. Inovasi ini bisa ditinjau dari sisi teknologi, dari sisi produk dan mekanisme pengelolaan, maupun dari sisi pengelolaannya secara keseluruhan. Sebagai contoh, digitalisasi yang dikembangkan oleh BWI, baik pengembangan platform berkahwakaf.id dan e-services untuk para nazhir, merupakan salah satu ikhtiar agar proses pengumpulan dana wakaf, hingga proses pelaporannya sebagai bentuk pertanggungjawaban nazhir, dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Demikian pula dengan perluasan produk wakaf, seperti adanya CWLS maupun rencana BWI untuk mendorong sinergi wakaf uang dengan instrumen layanan urun dana atau securities crowdfunding (SCF) syariah, merupakan bagian dari inovasi berkelanjutan yang perlu dikembangkan oleh seluruh institusi pengelola wakaf.

Jika proses-proses di atas dapat dilakukan dengan baik, dan kemudian dikomunikasikan kepada publik melalui beragam saluran yang tepat, maka ujungnya diharapkan dapat meningkatkan literasi dan kepercayaan masyarakat. Peningkatan literasi ini merupakan sebuah keniscayaan, agar pemahaman dan kesadaran publik untuk berwakaf bisa terus meningkat dari waktu ke waktu. Untuk itu, edukasi individu dan keluarga mengenai hikmah dan urgensi berwakaf, perlu untuk terus dikembangkan secara kreatif dan berkelanjutan, dengan memanfaatkan beragam media yang ada. Harapannya, indeks literasi wakaf kita akan semakin meningkat. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Menakar Kualitas Pengelolaan Dana Haji

Irfan Syauqi Beik
Ekonom Syariah FEM IPB University

Pada akhir Juni 2022 lalu, BPKH kembali mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk laporan keuangan tahun 2021 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini adalah kali keempat BPKH mendapatkan opini WTP secara berturut-turut. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa pengelolaan keuangan haji telah berada pada jalur yang tepat, dan telah memenuhi unsur transparansi dan akuntabilitas yang sangat diperlukan dalam meyakinkan publik bahwa dana haji telah dikelola dengan amanah dan penuh tanggung jawab.

Jika melihat kinerja keuangan yang ada, data menunjukkan bahwa saldo dana haji mengalami peningkatan sebesar 9,58 persen, dari Rp 144,91 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 158,79 triliun pada tahun 2021. Kenaikan ini melebihi target yang ditetapkan sebelumnya, yaitu sebesar Rp 155,92 triliun, sehingga realisasi yang ada pada dasarnya mencapai angka 101,84 persen dari target yang telah ditetapkan. Hal ini juga berimbas pada kenaikan total aset BPKH yang mencapai angka 10,17 persen pada tahun 2021. Data menunjukkan bahwa total aset BPKH berada pada angka Rp 160,60 triliun pada tahun 2021, naik dari Rp 145,77 triliun pada tahun 2020.

Dari sisi penempatan dan investasi dana haji, BPKH juga mampu meningkatkan proporsi investasi pada instrumen-instrumen ekonomi dan keuangan syariah yang memberi return lebih baik. Pada tahun 2021, proporsi penempatan dana di perbankan syariah mencapai angka 28,74 persen, turun dari angka 31,28 persen pada tahun 2020. Sedangkan proporsi investasi pada tahun 2021 mencapai angka 71,26 persen, naik dari angka 68,72 persen pada tahun sebelumnya. Dengan kata lain, BPKH mampu mampu memperkecil proporsi penempatan dana pada level di bawah 30 persen, dan memperbesar porsi investasi hingga melebihi angka 70 persen.

Kebijakan BPKH untuk menaikkan proporsi investasi ini merupakan pilihan yang sangat baik dan strategis. Kenaikan proporsi investasi ini tentu berdampak pada perolehan nilai manfaat yang didapat BPKH. Berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan BPKH, tercatat perolehan nilai manfaat pengelolaan keuangan haji pada tahun 2021 mencapai angka Rp 10,50 triliun, naik 41,32 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai angka Rp 7,43 triliun.

Kenaikan nilai manfaat ini bersumber dari nilai manfaat pada penempatan dana haji sebesar Rp 1,85 triliun dan nilai manfaat investasi sebesar Rp 8,14 triliun. Sisanya berasal dari sumber-sumber lainnya yang mencapai angka Rp 500 miliar. Secara keseluruhan, kenaikan nilai manfaat ini melebihi dari target yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp 9,25 triliun. Imbasnya, besaran nilai manfaat yang disalurkan pada rekening virtual para calon jemaah haji juga mengalami peningkatan sebesar 25 persen, dari Rp 2 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 2,5 triliun pada tahun 2021.

Adapun dari sisi rasio keuangan, BPKH juga berhasil menjaga rasio likuiditas wajib, dimana sesuai peraturan perundang-undangan, BPKH wajib menjaga likuiditas ini senilai dua kali biaya penyelenggaraan ibadah haji. Pada tahun 2021, rasio likuiditas wajib ini dapat dijaga di level 2,98 kali biaya penyelenggaraan ibadah haji. Selain itu, rasio solvabilitas dapat dijaga pada level di bawah 100 persen. Raso solvabilitas BPKH pada tahun 2021 mencapai angka 88,86 persen.

Nilai rasio likuiditas wajib dan rasio solvabilitas ini pada dasarnya menunjukkan tingkat keamanan dana haji. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa dana haji yang dikelola oleh BPKH sesungguhnya berada dalam kondisi yang aman. Hal ini dapat menjadi jawaban atas keragu-raguan publik terhadap keamanan dana haji yang telah disetorkan para calon jemaah haji.

Sementara itu dari sisi beban biaya operasional BPKH, meski data menunjukkan adanya peningkatan beban operasional dari Rp 159,38 miliar pada 2020 menjadi Rp 234,01 miliar pada 2021, namun nilai CIR (Cost to Income Ratio)-nya tetap berada di bawah ambang batas 5 persen, yaitu sebesar 2,23 persen. Ini menunjukkan kemampuan pengelolaan keuangan haji yang sangat efisien.

Selain mengelola dana tunggu haji yang bersumber dari para calon jemaah haji, BPKH juga mengelola Dana Abadi Umat (DAU). Jumlah DAU ini juga meningkat dari Rp 3,68 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 3,74 triliun pada tahun 2021. Adapun pendapatan nilai manfaat dari DAU ini juga naik, dari Rp 229,22 miliar pada 2020 menjadi Rp 237,62 miliar pada 2021. Kenaikan ini berdampak pada program kemaslahatan yang dilakukan BPKH, dimana alokasi dana program kemaslahatan ini juga meningkat dari Rp 131,64 miliar pada 2020 menjadi Rp 189,45 miliar pada 2021, atau naik 43,91 persen.

Namun demikian, jumlah pendaftar baru calon jemaah haji mengalami penurunan, dari 418 ribu orang pada 2020 menjadi 270,9 ribu orang pada 2021. Meski turun, namun akumulasi total calon jemaah haji yang masuk daftar tunggu (waiting list) naik dari 4,99 juta orang pada 2020 menjadi 5,21 juta orang pada 2021. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bersama seluruh negara-negara Islam untuk bersama-sama memikirkan upaya memperpendek masa tunggu ibadah haji ini.

Selanjutnya, dari sisi makro, pengelolaan dana haji ini memiliki sejumlah implikasi. Pertama, dana haji yang diinvestasikan melalui instrumen SBSN / sukuk negara, selain memberikan nilai manfaat yang dapat digunakan untuk kepentingan jemaah haji, juga dapat membantu program-program strategis pembangunan nasional. Dana haji dapat membantu memperbesar ruang fiskal yang diperlukan untuk membangun bangsa ini. Diharapkan hal ini berdampak positif pada penguatan pertumbuhan ekonomi nasional.

Kedua, dari perspektif pembangunan ekosistem ekonomi syariah, pengelolaan dana haji ini dapat berperan dalam mendorong pengembangan sisi supply perekonomian. Keberadaan Bank Muamalat yang saat ini berada di bawah kepemilikan BPKH sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP), harus dapat dimanfaatkan dengan baik untuk memperkuat ekosistem pengelolaan haji dan umrah yang terintegrasi dari hulu ke hilir, sehingga dapat memberikan multiplier effect yang signifikan terhadap kondisi perekonomian. Dengan demikian, kontribusi dana haji terhadap pembangunan ekonomi syariah bisa semakin besar.

Ketiga, penyaluran nilai manfaat DAU dalam program-program kemaslahatan dapat menjadi jalan untuk membantu penguatan akses pendanaan program-program sosial keumatan, seperti peningkatan kualitas lembaga pendidikan, pesantren dan dakwah, serta dapat juga membantu upaya penurunan angka kemiskinan. Tinggal desain program kemaslahatan ini perlu didorong lebih variatif dan inovatif sehingga ruang-ruang pemberdayaan masyarakat bisa ditingkatkan. Program kemaslahatan ini juga telah berkontribusi dalam upaya mereduksi dampak pandemi covid-19 di tahun 2021.

Dengan kondisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan BPKH sangat baik, transparan dan akuntabel. Ini menjadi bekal yang sangat baik dalam menjaga dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap BPKH. Semoga kualitas pengelolaan dana haji ini bisa terus dijaga dan ditingkatkan ke depannya. Wallaahu a’lam.