Proyeksi Pengelolaan Wakaf Tahun 2023

Rubrik Iqtishodia Republika, Kamis 22 Desember 2022

Proyeksi Pengelolaan Wakaf Tahun 2023

Irfan Syauqi Beik

Perkembangan sektor wakaf di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat luar biasa pada tahun ini. Diperkirakan tren kinerja pengelolaan wakaf nasional pada tahun 2023 akan kembali naik dibandingkan dengan kinerja tahun 2022. Ada tujuh indikator yang menguatkan proyeksi peningkatan kinerja perwakafan tersebut.

Pertama, kinerja pengelolaan wakaf nasional tahun 2022 mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan tahun 2021. Ini dapat dilihat dari kenaikan nilai Indeks Wakaf Nasional (IWN) 2022 yang hampir dua kali lebih besar dibandingkan dengan nilai IWN 2021. Meski rilis resmi Laporan Indeks Wakaf Nasional 2022 baru akan diluncurkan pada akhir Januari atau Februari 2023, namun kalkulasi sementara yang dilakukan menunjukkan adanya perubahan yang sangat luar biasa. Kategori nilai IWN-nya naik dari kategori “kurang” di 2021 menjadi kategori “cukup” di 2022.

Kedua, dukungan regulasi di sejumlah daerah terhadap perwakafan juga menunjukkan indikasi yang semakin menggembirakan. Dukungan tersebut mulai dari adanya peraturan gubernur yang terkait dengan penguatan ekonomi syariah termasuk wakaf di dalamnya, pendirian komite daerah ekonomi dan keuangan syariah (KDEKS), pembinaan nazhir oleh otoritas, hingga dukungan APBD yang menunjang operasional BWI daerah. Diantara provinsi yang paling signifikan dukungan regulasi daerahnya adalah Riau. Wajar jika kemudian Gubernur Riau Syamsuar mendapatkan BWI Awards 2022 kategori Tokoh Wakaf Nasional unsur Kepala Daerah. Penulis berharap, kontribusi dan pencapaian Gubernur Riau ini juga bisa menginspirasi kepala daerah lain untuk melakukan hal yang sama, yaitu mendukung perwakafan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, basis-basis wakif (pemberi wakaf) juga semakin meluas. Selain wakif individu yang jumlahnya terus naik, saat ini jumlah wakif institusi juga menunjukkan tren peningkatan dengan basis institusi yangs emakin beragam. Diantaranya adalah basis wakif institusi pendidikan tinggi. Inisiasi yang dilakukan ITS dengan wakaf uang Rp 50 miliar dan IPB dengan wakaf uang Rp 200 miliar, diharapkan dapat mendorong kampus-kampus lain untuk menempatkan dana abadinya pada instrumen CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk). Kampus-kampus, baik yang berada di bawah Kemendikbud Ristek maupun Kemenag, diharapkan dapat terlibat langsung menjadi wakif institusi dan mengoptimalkan dana abadi yang dikelolanya melalui instrumen wakaf-linked sukuk.

Keempat, digitalisasi wakaf yang terus berjalan dan semakin efektif di dalam memfasilitasi peningkatan kualitas layanan perwakafan nasional. Setelah sukses dalam mengembangkan kanal digital berkahwakaf.id dan e-services bagi para nazhir, BWI akan terus mengembangkan digitalisasi ini di tahun 2023 mendatang. Diantara hal yang akan dikembangkan antara lain adalah mendorong pengembangan aplikasi yang akan mengintegrasikan data wakaf yang dimiliki BPN (Badan Pertanahan Nasional) dengan data sistim informasi wakaf yang dimiliki Kemenag. Juga akan dikembangkan aplikasi Akta Ikrar Wakaf (AIW) digital dan aplikasi blended commercial finance, yang mengkombinasikan antara keuangan sosial syariah, khususnya wakaf uang, dengan keuangan komersial syariah.

Kelima, produk-produk wakaf semakin beragam dengan pola pendanaan yang juga semakin inovatif. Mulai dari produk wakaf tradisional yang memanfaatkan teknologi mobile banking atau internet banking, hingga produk yang lebih kompleks dengan mengkombinasikan wakaf uang dengan instrumen Shariah Crowdfunding (SCF) syariah. Kompleksitas produk ini menunjukkan bahwa animo publik semakin tinggi dan kebutuhan nazhir akan produk investasi wakaf juga semakin meningkat, baik untuk menginvestasikan wakaf uang yang dikelolanya maupun untuk mengembangkan harta benda wakaf yang dikelolanya agar semakin produktif.

Keenam, dari sisi produk pengetahuan wakaf, juga terlihat indikasi semakin berkembangnya dinamika keilmuan wakaf. Mulai dari inovasi pengetahuan melalui pengembangan Indeks Wakaf Nasional, Indeks Implementasi WCP (Waqf Core Principles), hingga Indeks Tata Kelola Nazhir Yang Baik (Good Nazhir Governance – GNG Index) yang baru saja diluncurkan di Leeds, Inggris pada September 2022 lalu. Selain itu, semakin berkembangnya ragam riset wakaf yang dikembangkan oleh kalangan perguruan tinggi juga semakin menguatkan peran Indonesia sebagai produsen ilmu ekonomi dan keuangan sosial Islam terkemuka di dunia. Ini sejalan dengan cita-cita bangsa ini untuk menjadi pusat ekonomi syariah dunia pada tahun 2024 mendatang.

Ketujuh, kualitas SDM pengelola aset wakaf, perlahan tapi pasti, menunjukkan adanya peningkatan kualitas dari waktu ke waktu. Sejak didirikannya LSP BWI yang berlisensi BNSP pada akhir 2021 lalu, jumlah nazhir yang tersertifikasi semakin banyak, melebihi angka 1500 orang. Ini tentu berkorelasi dengan peningkatan kinerja perwakafan nasional di tahun 2022. Karena itu, dengan tren sertifikasi yang terus meningkat, diharapkan pada tahun 2023, kualitas pengelolaan wakaf akan semakin baik. Produktifitas aset wakaf juga diharapkan semakin meningkat, sehingga peran dan kontribusi wakaf dalam pembangunan nasional menjadi semakin signifikan. Semoga. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Mengembangkan ESG Syariah

Iqtishodia Republika, Kamis 24 November 2022

Mengembangkan ESG Syariah

Irfan Syauqi Beik*

Terjadinya bencana gempa di Cianjur yang menurut catatan BNPB, telah mengakibatkan jatuhnya korban meninggal dunia sebanyak 268 jiwa per Selasa 22 November 2022 lalu, menambah rentetan duka bangsa atas berbagai peristiwa bencana alam yang terjadi di negeri ini. Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap terjadinya berbagai bencana alam.

Berdasarkan data BNPB, sepanjang tahun 2021 telah terjadi 5.402 kejadian bencana dan 99,5 persen diantaranya adalah bencana hidrometeorologi, yang disebabkan oleh perubahan iklim dan cuaca. Data BNPB juga menunjukkan bahwa dari kejadian bencana tersebut, bencana banjir tercatat yang paling banyak terjadi, yaitu 1.794 kejadian, disusul 1.577 kejadian bencana akibat cuaca ekstrem, 1.321 bencana tanah longsor, 579 kejadian kebakaran hutan dan lahan, 91 bencana gelombang pasang dan abrasi, 24 gempa bumi, 15 kekeringan dan 1 erupsi gunung berapi.

Adapun dari sisi jumlah korban sebagai dampak dari bencana, BNPB mencatat bahwa jumlah korban meninggal dunia akibat bencana di 2021 mencapai angka 728 orang, 87 orang hilang, 14.915 jiwa luka-luka, 7,6 juta jiwa mengungsi, 158 ribu rumah rusak, 4.445 fasilitas umum rusak, 664 kantor rusak, dan 505 jembatan rusak. Tentu situasi ini juga memiliki dampak secara ekonomi.

Selain kerugian material yang diderita, juga dapat menambah jumlah fakir miskin baru, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan secara ekonomi. Untuk itu, kondisi perlu mendapat perhatian kita semua, terutama jika melihat fakta bahwa kontribusi kegiatan ekonomi dan bisnis yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, menjadi salah satu penyebab utama terjadinya bencana hidrometeorologi ini.

Salah satu solusinya adalah dengan terus mengembangkan konsep ESG (Environment, Social, Governance) beserta aplikasinya di Indonesia. Konsep ini didasarkan pada pentingnya menjaga aspek lingkungan, sosial dan tata kelola dalam mengembangkan kegiatan perekonomian. ESG ini harus menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan kegiatan ekonomi, termasuk bisnis dan investasi.

Konsep ESG

Pada dasarnya, konsep ESG ini sangat sejalan dengan prinsip ekonomi syariah. Filosofi dasar ekonomi syariah yang menekankan tercapainya kondisi maslahah, dimana kegiatan ekonomi harus memberikan manfaat dan berkah berkelanjutan dalam bingkai keadilan, sangat sejalan dengan konsep ESG.

Dari sisi lingkungan (environment), ekonomi syariah sangat memberi perhatian yang sangat mendalam terhadap upaya menjaga dan melestarikan lingkungan. Dalam banyak ayat, Allah SWT telah mengingatkan akan pentingnya menjaga lingkungan dan dampak kerusakan yang ditimbulkannya. Yang menarik, pada QS 30 : 41, Allah secara tegas menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan adalah akibat ulah tangan manusia. Ulah manusia yang secara sadar dan sengaja, melalui perencanaan bisnis yang sistematis dan well-managed, telah mengakibatkan kerusakan alam secara terstruktur akibat diabaikannya dampak lingkungan. Karena itu, koreksi terhadap sistim ekonomi, keuangan dan bisnis, melalui penggunaan berbagai terminologi hijau, seperti green economy dan green finance, perlu untuk terus didorong dan dikembangkan.

Kemudian dari sisi sosial, ekonomi syariah juga memiliki concern yang sangat kuat. Islam mengajarkan bahwa setiap entitas bisnis komersial, wajib melaksanakan fungsi sosialnya. Pelaksanaan fungsi sosial ini antara lain ditunjukkan dengan penunaian kewajiban zakat, baik zakat pada level individu maupun badan usaha, dan ibadah sosial lainnya termasuk infak, sedekah dan wakaf. ZISWAF ini menjadi indikator paling fundamental dari sisi sosial, di samping pengelolaan hubungan dengan para pemangku kepentingan strategis dalam ekosistim ekonomi dan bisnis yang dikembangkan. Bank syariah misalnya, meski merupakan entitas bisnis namun wajib menjalankan fungsi sosial. Karena itu, agak aneh kalau ada lembaga keuangan syariah, yang enggan menunaikan ZISWAF-nya.

Adapun dari sisi tata kelola (governance), ekonomi syariah juga mengajarkan pentingnya untuk memastikan bahwa tata kelola ekonomi dan bisnis yang dikembangkan, dapat dilaksanakan dengan baik dan berkelanjutan. Aspek keberlanjutan ini juga sangat penting karena juga sangat mempengaruhi masa depan perekonomian. Implementasi tata kelola yang didasarkan atas prinsip itqan dan ihsan, akan melahirkan kinerja ekonomi dan bisnis yang optimal. Dengan demikian, secara konseptual, ESG ini sesungguhnya merupakan hal yang seharusnya melekat secara otomatis pada entitas ekonomi dan bisnis, baik di sektor riil maupun sektor keuangan, termasuk juga dalam pengelolaan lembaga amil dan nazhir di sektor sosial.

Aplikasi ESG Syariah

Meski masih terbatas, namun upaya melaksanakan konsep ESG syariah ini telah dilakukan pada berbagai sektor dan industri dalam ekonomi syariah. Di sisi keuangan, pemerintah telah mengembangkan berbagai produk investasi yang relevan dengan aplikasi ESG yang antara lain tercermin pada penerbitan sukuk negara hijau, baik pada skala global maupun ritel. Ini antara lain dilakukan sebagai ikhtiar untuk membiaya kegiatan climate action yang hingga tahun 2030 membutuhkan dana tidak kurang dari Rp 3.461 triliun (Kemenkeu, 2021).

Penerbitan perdana sukuk hijau global oleh pemerintah dilakukan pada Maret 2018 dengan nilai total penerbitan sebesar USD 1,25 miliar. Hingga akhir 2020 telah diterbitkan sukuk hijau global senilai hampir tiga miliar dolar AS. Sementara pada sisi ritel, dalam kurun waktu yang sama sampai akhir 2020, telah diterbitkan sukuk ritel hijau melalui penerbitan sukuk tabungan seri ST-006 dengan nilai Rp 1,46 triliun, yang dilanjutkan dengan ST-007 senilai Rp 5,4 triliun.

Pada sisi keuangan sosial, telah berkembang pula program wakaf hijau di berbagai wilayah, seperti hutan wakaf di Bogor. BWI bersama UNDP Indonesia pun telah menerbitkan konsep Green Waqf Framework sebagai upaya sistematis dalam mengoptimalkan pembangunan hijau berbasis wakaf. Ke depan, edukasi publik akan konsep ESG syariah dan juga inovasi-inovasi produk yang ada, harus terus dikembangkan. Salah satunya, rencana BEI untuk menginisiasi Daftar Efek Syariah berbasis ESG (DES-ESG) perlu kita sambut dan semoga dapat direalisasikan pada tahun 2023. Saatnya kita melaksanakan konsep ESG untuk meningkatkan kualitas bisnis syariah di tanah air. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

RUU P2SK dan Wakaf Uang

Rubrik Iqtishodia Republika 27 Oktober 2022

RUU P2SK dan Wakaf Uang

Irfan Syauqi Beik*

Ada yang menarik tentang wakaf uang ini. Di satu sisi ia adalah instrumen yang kental dengan fungsi sosial, karena lahir dari semangat kedermawanan dan rasa ingin berbagi. Namun di sisi lain, ia juga memiliki sisi komersial yang tidak boleh diabaikan. Ini karena nilai pokok uang wakaf harus dijaga, dan cara terbaik menjaganya adalah dengan menginvestasikannya pada instrumen-instrumen investasi syariah, baik di sektor riil maupun sektor keuangan. Kalau tidak diinvestasikan, nilai pokok uang akan tegerus inflasi sehingga daya belinya akan terus berkurang.

Dengan dua karakteristik tersebut yang melekat pada wakaf uang, dan juga pada aset-aset wakaf lainnya yang dibingkai dalam konsep wakaf produktif, maka keterlibatan lembaga keuangan syariah menjadi sangat penting. Dalam desain regulasi saat ini, keterlibatan LKS ada pada dua hal, yaitu sebagai LKS PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang) dan sebagai nazhir wakaf uang. LKSPWU secara khusus disematkan untuk perbankan syariah, sementara nazhir wakaf uang saat ini didominasi oleh lembaga keuangan mikro syariah, seperti koperasi syariah dan BMT, dan bank syariah dilarang menjadi nazhir wakaf uang. Tentu di luar LKMS ini, ada banyak yayasan yang telah mendapat izin sebagai nazhir wakaf uang dari BWI.

Yang menarik, inovasi produk berbasis wakaf uang ini perkembangannya sangat luar biasa. Di luar investasi pada produk bank syariah tradisional seperti tabungan dan deposito, telah berkembang sejumlah inovasi produk wakaf uang yang terkait dengan investasi di sektor riil (meski banyak yang tidak dijamin asuransi syariah), maupun yang dikawinkan dengan produk keuangan komersial syariah lainnya. Berawal dari kolaborasi wakaf dan asuransi syariah via produk wakaf polis asuransi, saat ini produk wakaf uang telah berkembang pada Cash Waqf Linked Sukuk dan produk sukuk-linked wakaf melalui mekanisme SCF (securities crowdfunding) syariah. Penerbitan sukuk-linked wakaf yang diluncurkan saat ISEF 7 Oktober 2022 lalu, oleh Yayasan Lingkar Sehat Indonesia bekerja sama dengan unit syariah dari Fundex, salah satu penyelenggara SCF, merupakan salah satu bukti bahwa dinamika itu sudah sedemikian dalam dan berpotensi menjadi tren baru perwakafan ke depannya.

Penulis meyakini bahwa dinamika seperti ini akan terus berkembang, sehingga menuntut adanya penyesuaian dari sisi regulasi. Penyesuaian ini menjadi sangat penting karena jangan sampai regulasi justru menjadi faktor penghambat dinamika yang ada. Harapan utamanya tentu pada pengusulan pembahasan RUU Wakaf di DPR. Namun, sambil menunggu proses tersebut, ada baiknya kita memanfaatkan momentum pembahasan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Tentu tidak semua harapan perbaikan regulasi ini dititipkan melalui RUU P2SK, namun paling tidak, ada hal yang diharapkan dapat diakomodasi dalam RUU ini. Yaitu, regulasi mengenai posisi bank syariah sebagai nazhir wakaf uang. Idealnya, seluruh LKS perlu diberikan kesempatan menjadi nazhir wakaf uang, namun khusus bank syariah, agar tidak dibatasi perannya hanya sebagai LKS PWU.

Urgensi nazhir wakaf uang

Ada tiga alasan yang melatarbelakangi usulan bank syariah menjadi nazhir wakaf uang. Pertama, secara internasional, pasca terjadinya krisis global tahun 2008, Islamic Development Bank melalui IRTI (sekarang menjadi IsDB Institute) telah mengembangkan FSAP (Financial Sector Assessment Program) for Islamic Finance, mengikuti langkah serupa yang telah diinisiasi oleh World Bank. Dalam FSAP for Islamic Finance ini dibahas mengenai sektor-sektor yang dapat mempengaruhi stabilitas sistim keuangan syariah dan penguatan perekonomian. Salah satunya adalah sektor keuangan sosial syariah yang berbasis ZISWAF. Hal tersebut mengindikasikan bahwa wakaf uang hendaknya masuk menjadi salah satu concern utama ketika berbicara tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan, khususnya keuangan syariah. Karena itu, fokus pengembangan wakaf uang ini tidak hanya menjadi wilayahnya Kemenag dan BWI saja, namun juga harus menjadi perhatian bersama seluruh otoritas di bidang keuangan dan perekonomian.

Kedua, perekonomian Indonesia termasuk ke dalam banking-based economy, dimana peran perbankan dalam mengalirkan “darah” bagi tubuh perekonomian masih sangat dominan. Hal ini ditunjukkan dengan porsi aset perbankan terhadap PDB mencapai angka 59,5 persen. Meski masih lebih kecil dibandingkan Malaysia (198,6 persen), Singapura (572,1 persen) dan Thailand (146,6 persen), yang aset perbankannya meleibihi PDB-nya, namun dengan porsi yang hampir 60 persen, dan disertai dengan fakta banyaknya program pemerintah yang disalurkan melalui perbankan, maka keberadaan perbankan menjadi sangat penting. Termasuk dalam hal pengelolaan wakaf uang.

Dengan kapasitas dan kemampuan bank syariah saat ini, maka menjadikan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang adalah pilihan strategis untuk mengoptimalkan potensi wakaf uang yang mencapai angka Rp 180 triliun, sekaligus memanfaatkan wakaf uang tersebut secara produktif untuk menggerakkan perekonomian nasional. Bank syariah akan lebih termotivasi untuk mendorong kampanye wakaf uang ini, dan ini juga akan memberi peluang alternatif sumber pembiayaan bagi UMKM yang porsinya mendominasi perekonomian Indonesia.

Ketiga, kapasitas penyaluran wakaf uang untuk investasi di sektor riil akan semakin besar. Ini dikarenakan kemampuan bank syariah telah teruji dalam hal penyaluran pembiayaan di sektor riil. Termasuk jika penyalurannya dilakukan dengan melibatkan institusi keuangan syariah lainnya, seperti penyaluran dalam bentuk channeling. Bisa dibayangkan jika investasi wakaf uang yang 180 triliun itu dilakukan pada sektor-sektor strategis dalam perekonomian, maka dampak multiplier-nya akan sangat luar biasa. Kolaborasi dengan institusi-institusi nazhir lainnya juga akan berkembang dengan baik.

Jika melihat kata wakaf dalam RUU P2SK, saat ini ada satu kata wakaf di Pasal 109, dimana wakaf dapat menjadi salah satu sumber pendanaan modal ventura. Kenapa tidak, kata wakaf ini, termasuk wakaf uang, diperluas pada pasal-pasal terkait perbankan syariah, dan bahkan LKS lainnya. Kalaupun UU No 41/2004 tentang Wakaf terkena dampak, maka hal tersebut hanya pada pasal-pasal tentang LKSPWU. Karena itu, penulis berharap pemerintah dan DPR dapat mempertimbangkan usulan ini, untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Implementasi Wakafnomics (Bagian 3)

Implementasi Wakafnomics (Bagian 3)

Irfan Syauqi Beik*

Pada bagian terakhir dari rangkaian tulisan mengenai implementasi wakafnomics ini, akan dibahas mengenai implementasi dari perspektif mikro. Pada pendekatan mikro, implementasi wakafnomics difokuskan pada dua hal. Pertama, upaya penguatan kinerja pengelolaan wakaf pada level kelembagaan nazhir, dan kedua, penguatan literasi dan partisipasi publik pada level individu atau keluarga. Keduanya sangat penting karena sangat menentukan wajah perwakafan pada tataran praktik.

Pada level kelembagaan nazhir, perlu dilakukan upaya-upaya untuk terus meningkatkan aspek profesionalitas, akuntabilitas, dan kompetensi nazhir. Untuk merealisasikannya, lembaga nazhir wajib memperhatikan dua prinsip utama, yaitu prinsip “dua aman”, yang terdiri atas aman syar’i dan aman regulasi, dan prinsip “tiga pertanggungjawaban”, yang terdiri atas pertanggungjawaban keuangan (financial accountability), pertanggungjawaban program (program accountability) dan pertanggungjawaban etika (ethical accountability). Implementasi prinsip-prinsip ini akan sangat memengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga wakaf.

Pada aspek aman syar’i, setiap institusi nazhir wajib memastikan bahwa keseluruhan proses pengelolaan wakaf tidak bertentangan dengan syariah. Jangan sampai ada praktik yang bertentangan secara diametral dengan tuntunan syariah. Misalnya, jika nazhir ingin menginvestasikan dana wakaf yang dikelolanya, maka investasi ini harus dipastikan dilakukan pada sektor-sektor usaha yang tidak melanggar syariah. Termasuk mekanisme investasinya harus bebas dari unsur-unsur yang diharamkan, seperti riba, gharar dan maysir. Karena itu, setiap institusi nazhir hendaknya memiliki dewan pengawas syariah yang kapabel, untuk memastikan adanya proses pengawasan syariah yang kredibel.

Selanjutnya pada aspek aman regulasi, semua lembaga nazhir wajib menjunjung tinggi pelaksanaan UU yang ada, yaitu UU No 41/2004 tentang Wakaf maupun UU yang terkait lainnya, seperti UU yang terkait dengan pengelolaan zakat, kelembagaan yayasan dan perseroan terbatas. Ini sangat penting agar pelaksanaan wakaf tidak menimbulkan persoalan secara hukum. Sebagai contoh, pemanfaatan dana yang menjadi hak nazhir harus mengikuti ketentuan yang ada saat ini, yaitu tidak boleh melebihi angka 10 persen dari hasil pengelolaan wakaf yang dilakukannya.

Adapun pada pertanggungjawaban keuangan, nazhir harus dapat mengelolan keuangan wakaf sesuai dengan PSAK 112, yang secara efektif berlaku sejak 2021 lalu. Selain itu, jika ada dana non-wakaf yang dikelolanya, seperti infak sedekah, maka pengelolaannya harus sesuai dengan PSAK terkait lainnya seperti PSAK 109. Dalam konteks ini, BWI telah merancang pedoman sistem akuntansi nazhir beserta implementasinya melalui platform digital. Tinggal penyelesaian dasar aturan hukumnya yang sudah masuk pada tahap akhir pembahasan. Diharapkan hal tersebut akan membantu memudahkan nazhir dalam mengelola6 keuangannya termasuk membantu memudahkan proses audit keuangan oleh pihak kantor akuntan publik, sehingga hasil audit tersebut diharapkan akan berujung pada opini wajar (dahulu WTP).

Sedangkan pada pertanggungjawaban program, institusi nazhir harus memastikan bahwa program-program yang dilakukannya memberikan maanfaat yang luas bagi masyarakat. Masyarakat harus dapat dengan mudah mengetahui dan mengakses program-program tersebut. Untuk itu, dalam Indeks Wakaf Nasional (IWN), diantara dimensi yang diukurnya terdapat dimensi outcome dan dimensi dampak. Pada dimensi outcome, kinerja wakaf diukur dari sisi rasio atau proporsi program wakaf produktif, yang mengukur seberapa besar proporsi program wakaf secara produktif dibandingkan dengan proporsi program wakaf secara sosial, dan jangkauan mauquf alaih, yang mengukur seberapa banyak penerima manfaat dari program pengelolaan wakaf yang dilakukan nazhir. Sementara pada dimensi dampak, IWN mencoba untuk mengukur dampak program wakaf terhadap masyarakat penerima manfaat wakaf, baik dari sisi kesejahteraan material spiritualnya, sisi pendidikan, kesehatan dan kemandiriannya, maupun dampaknya terhadap infrastruktur yang diperlukan masyarakat.

Selanjutnya pada pertanggungjawaban etika, yang wajib diperhatikan oleh nazhir adalah terkait kode etik yang mengikat nazhir, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan dalam pengelolaan wakaf, seperti aspek remunerasi dan perilaku para nazhir. Ini adalah hal yang sangat penting karena publik akan melihat kesesuaian antara pesan dakwah wakaf dengan perilaku para pengusung dakwah wakaf tersebut. Jika terdapat kesenjangan yang cukup parah, maka publik tidak akan mempercayakan lagi penyaluran wakafnya melalui lembaga nazhir. Sama halnya dengan kemaksiatan. Efek kemaksiatan, meski kecil, akan jauh lebih besar pada ustadz dibandingkan dengan pada preman. Inilah yang perlu dijaga oleh setiap pegiat wakaf agar potensi besar wakaf ini bisa terus digerakkan untuk membangkitkan kekuatan sosial ekonomi masyarakat.

Selain prinsip “dua aman” dan “tiga pertanggungjawaban” di atas, maka implementasi wakafnomics pada level mikro ini juga memerlukan adanya inovasi berkelanjutan. Inovasi ini bisa ditinjau dari sisi teknologi, dari sisi produk dan mekanisme pengelolaan, maupun dari sisi pengelolaannya secara keseluruhan. Sebagai contoh, digitalisasi yang dikembangkan oleh BWI, baik pengembangan platform berkahwakaf.id dan e-services untuk para nazhir, merupakan salah satu ikhtiar agar proses pengumpulan dana wakaf, hingga proses pelaporannya sebagai bentuk pertanggungjawaban nazhir, dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Demikian pula dengan perluasan produk wakaf, seperti adanya CWLS maupun rencana BWI untuk mendorong sinergi wakaf uang dengan instrumen layanan urun dana atau securities crowdfunding (SCF) syariah, merupakan bagian dari inovasi berkelanjutan yang perlu dikembangkan oleh seluruh institusi pengelola wakaf.

Jika proses-proses di atas dapat dilakukan dengan baik, dan kemudian dikomunikasikan kepada publik melalui beragam saluran yang tepat, maka ujungnya diharapkan dapat meningkatkan literasi dan kepercayaan masyarakat. Peningkatan literasi ini merupakan sebuah keniscayaan, agar pemahaman dan kesadaran publik untuk berwakaf bisa terus meningkat dari waktu ke waktu. Untuk itu, edukasi individu dan keluarga mengenai hikmah dan urgensi berwakaf, perlu untuk terus dikembangkan secara kreatif dan berkelanjutan, dengan memanfaatkan beragam media yang ada. Harapannya, indeks literasi wakaf kita akan semakin meningkat. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Implementasi Wakafnomics (Bagian 2)

Irfan Syauqi Beik*

Pada edisi bulan lalu, telah dibahas implementasi wakafnomics dengan menggunakan pendekatan makro yang bersifat nasional. Selanjutnya akan dibahas bagaimana implementasi wakafnomics dari perspektif meso dan mikro. Pendekatan meso yang dimaksud adalah pendekatan yang berbasis regional (kewilayahan), dalam hal ini adalah provinsi dan kabupaten/kota, serta pendekatan yang berbasis sektoral. Dalam konteks sektoral, yang dimaksud adalah sektor wakaf produktif maupun wakaf sosial, yang dapat diintegrasikan dengan sektor non wakaf, seperti industri halal dan industri keuangan syariah.

Adapun pendekatan mikro adalah pendekatan yang terkait dengan aktor wakaf secara individu, baik wakif, nazhir, maupun para stakeholder strategis lainnya. Bagaimana setiap aktor ini dapat memainkan perannya dengan baik, sehingga upaya optimalisasi pembangunan wakaf dapat dilaksanakan dengan baik dan memiliki dampak yang sangat signifikan.

Empat pilar wakafnomics, baik pilar produktivitas, falah dan maslahah, keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi, dan growth through equity (tumbuh melalui berbagi), memerlukan implementasi yang tepat melalui pendekatan meso yang terintegrasi. Integrasi antara aspek kewilayahan dan aspek sektoral. Untuk itu, diperlukan adanya sejumlah tahapan yang bersifat sistematis dalam mendorong penguatan wakafnomics di level meso.

Tahap pertama adalah tahapan untuk mengkonsolidasikan para pemangku perwakafan di level daerah. Tujuannya agar ada kesepahaman dan kesamaan visi dalam menjadikan wakaf sebagai salah satu instrumen utama dalam pembangunan daerah. Sinkronisasi dengan kebijakan pembangunan daerah menjadi sangat penting. Bahkan jika perlu, beberapa tujuan pembangunan daerah dapat dicapai melalui pemanfaatan wakaf. Misalnya, penyediaan perluasan fasilitas kesehatan daerah dapat dipenuhi melalui pembangunan RS wakaf.

Termasuk dalam tahap ini adalah institusionalisasi lembaga pengambilan kebijakan perwakafan agar lebih efektif pada sisi eksekusinya. Keberadaan KDEKS (Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah) dapat dijadikan sebagai kendaraan yang dapat mengkonsolidasikan pemangku kepentingan daerah yang ada. Untuk itu, keberadaan KDEKS sebagaimana yang telah ada di Provinsi Sumatera Barat, dapat direplikasikan di provinsi-provinsi lainnya. Atau bahkan direplikasikan pada tingkat kabupaten/kota.

Tahap kedua, diperlukan adanya kebijakan di level daerah yang mendorong terciptanya kawasan-kawasan pengembangan wakaf yang terintegrasi, baik wakaf produktif maupun wakaf sosial. Misalnya, jika di suatu kawasan terdapat tanah wakaf seluas lima hektar, yang berlokasi di wilayah ibukota provinsi, maka diperlukan adanya pendekatan kebijakan yang bersifat komprehensif dan integratif dalam memanfaatkan lokasi tersebut untuk dibangun berbagai proyek wakaf produktif dan sosial.

Bermula dari penyusunan feasibility study (studi kelayakan) yang mencoba mengidentifkasi proyek komersial apa yang ingin dikembangkan di atas tanah wakaf tersebut. Hasil studi tersebut harus dapat memberi gambaran lengkap mengenai proyek bisnis yang akan dibangun dan tahapan-tahapan pembiayaan yang diperlukan (jika tidak bisa sekaligus). Tahapan-tahapan pembiayaan ini sangat perlu untuk didetilkan agar dapat diketahui secara jelas besaran kebutuhan dana di setiap fase pembangunan kawasan ini. Termasuk di dalamnya adalah studi dari sisi badan hukum yang akan menjadi pengelolanya, apakah memerlukan PT khusus wakaf atau melalui badan hukum lain.

Setelah itu diidentifikasi sumber-sumber pembiayaan yang diperlukan. Ada sejumlah saluran pendanaan yang dapat dilakukan. Pertama, sumber dana wakaf uang atau wakaf melalui uang secara ritel. Ini dilakukan melalui pelibatan masyarakat dan korporasi secara aktif, melalui kampanye wakaf yang bersifat masif, dengan menyediakan beragam saluran donasi wakaf, baik melalui kanal-kanal digital maupun kanal-kanal non digital. Kedua, sumber dana melalui mekanisme APBD, dengan asumsi bahwa implementasi di level makro yang menempatkan wakaf sebagai bagian dari instrumen fiskal negara berjalan dengan baik.

Ketiga, sumber dana investasi langsung, dengan mengundang pemodal dalam dan luar negeri. Seandainya lembaga pembiayaan investasi wakaf telah dimiliki oleh negeri ini, maka keberadaannya bisa dioptimalkan dengan baik. Namun karena belum ada, maka pimpinan daerah bersama-sama dengan BWI perwakilan dan komponen wakaf daerah lainnya, dapat menciptakan beragam skema investasi yang menarik, termasuk menjajaki kerjasama dengan sejumlah lembaga investasi wakaf uang di dunia internasional, seperti Awqaf Properties Investment Fund – Islamic Development Bank (APIF IsDB) dan Awqaf Investment Company Arab Saudi.

Keempat, sumber dana melalui penerbitan sukuk wakaf, baik CWLS maupun sukuk wakaf daerah. Kepala daerah bersama DPRD, dapat mendorong alternatif penerbitan sukuk wakaf daerah dengan underlying asset-nya adalah proyek wakaf prioritas di daerah. Jika kembali ke contoh tanah wakaf lima hektar di atas, maka underlying asset-nya adalah proyek di atas tanah lima hektar tersebut. Harus didorong upaya perbaikan regulasi sehingga hal ini bisa dilaksanakan dengan baik.

Kelima, sumber dana melalui mekanisme pasar modal syariah. Ini juga perlu dilakukan kajian secara mendalam. Sebagai contoh, memanfaatkan layanan urun dana syariah (Shariah Securities Crowdfunding, atau SCF Syariah) sebagai sumber alternatif pendanaan proyek wakaf produktif. Meski aturan yang ada membatasi hingga maksimal Rp 10 miliar per penerbitan sukuk melalui SCF syariah, namun hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk membiayai sebagian dari tahapan pembiayaan yang diperlukan.

Inilah contoh-contoh saluran pembiayaan yang dapat dieksplorasi oleh setiap daerah sehingga instrumen wakaf bisa semakin berkembang dan bermanfaat. Diperlukan keberanian dan terobosan-terobosan inovatif agar pemanfaatan wakaf bisa berjalan dengan optimal. Adapun implementasi wakafnomics melalui pendekatan mikro, akan dibahas pada edisi berikutnya, insya Allah. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Implementasi Wakafnomics (Bagian 1)

Rubrik Iqtishodia Republika, 25 Mei 2022

Implementasi Wakafnomics (Bagian 1)

Irfan Syauqi Beik*

Pada rubrik ini edisi April 2022 lalu, telah dijelaskan gambaran singkat mengenai filosofi wakafnomics yang didasarkan pada empat pilar, yaitu : produktivitas, orientasi falah dan maksimisasi maslahah, keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi, dan konsep growth through equity atau pertumbuhan ekonomi melalui mekanisme berbagi.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana mengimplementasikan konsepsi wakafnomics ini sehingga keempat pilar tersebut bisa ditegakkan dan memiliki dampak positif terhadap penguatan perekonomian suatu bangsa?

Untuk menjawabnya, tentu tidak mudah. Namun menurut penulis, implementasi wakafnomics ini dapat ditinjau dari tiga pendekatan, yaitu pendekatan yang bersifat makro, meso dan mikro. Pada edisi kali ini akan dibahas khusus tinjauan dari sisi pendekatan makro.

Pada pendekatan makro, implementasi wakafnomics memerlukan dukungan kebijakan yang bersifat komprehensif, dengan memanfaatkan dan mengembangkan inovasi instrumen yang dapat memfasilitasi kebijakan yang mendukung penerapan wakaf ini. Ada empat jalur kebijakan yang dapat dimanfaatkan, yaitu kebijakan fiskal, kebijakan moneter, kebijakan pendalaman pasar keuangan, dan kebijakan investasi wakaf. Meski demikian, keempat kebijakan tersebut dapat saling berinteraksi dan saling memengaruhi satu sama lain.

Pada sisi kebijakan fiskal, saat ini yang sudah dikembangkan adalah kombinasi antara wakaf uang dengan sukuk negara, dalam bentuk produk CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk) yang sudah memasuki penerbitan seri ketiga untuk ritelnya. CWLS ini juga menjadi bagian dari upaya pendalaman pasar keuangan syariah di Indonesia. Ke depan, perlu dilakukan sejumlah inovasi program wakaf yang dapat memperkuat keterlibatan aset wakaf dalam pembangunan nasional.

Sebagai contoh, penulis ingin mengajak kita mendiskusikan penerimaan wakaf, baik wakaf aset maupun wakaf uang, sebagai bagian dari penerimaan negara maupun penerimaan daerah. Jadi klasifikasi penerimaan negara ditambah posnya, tidak hanya pajak, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), hibah dan lain-lain, namun juga wakaf. Dengan kata lain, masyarakat atau wakif diperbolehkan mewakafkan asetnya, baik aset tetap maupun aset bergerak, kepada negara, dengan konsekuensi negara harus menjaga aset ini selama-lamanya dan tidak boleh dialihkan pada pihak lain, baik domestik maupun asing. Dalam hal ini, peran nazhir negara perlu dipertegas melalui satu pintu, yaitu BWI, baik BWI Pusat maupun BWI daerah.

Adapun peran nazhir lembaga milik masyarakat yang ada, bisa diarahkan sebagai mitra BWI dalam mengelola aset wakaf negara. Sebagai imbal balik bagi wakif sekaligus stimulus untuknya, maka setiap aset yang ia wakafkan, dapat dijadikan sebagai kredit pajak, atau minimal menjadi pengurang pendapatan kena pajak. Karena menjadi pos keempat penerimaan negara, maka secara agregat, total penerimaan negara tidak akan berkurang.

Kebijakan ini juga akan mengubah definisi BMN (Barang Milik Negara), dimana ada tambahan jenis barang yaitu barang wakaf. Adanya BMN wakaf ini memungkinkan untuk dikembangkannya instrumen sukuk-linked wakaf (SLW), dimana instrumen sukuk negara yang menghimpun dana komersial syariah, bisa digunakan untuk membiayai proyek-proyek wakaf yang menjadi underlying asset-nya. Aset-aset wakaf yang idle dan belum produktif, dapat dibuat produktif dengan pengembangan SLW ini.

Pemerintah pun tidak perlu ragu untuk mengembangkan program strategis di atas tanah wakaf melalui suntikan dana APBN/APBD. Belum lama ini, dalam satu kesempatan dialog wakaf di Provinsi Riau bersama BWI Riau, ada salah satu pemerintah kabupaten yang ingin mengembangkan program wisata syariah di atas aset wakaf melalui mekanisme APBD. Namun belum tereksekusi karena terkendala regulasi yang ada saat ini.

Selanjutnya, jalur kebijakan moneter. Saat ini Bank Indonesia telah mengembangkan instrumen SukBI (Sukuk Bank Indonesia) yang digunakan untuk operasi moneter syariah. Penulis mengusulkan untuk mendiskusikan kemungkinan pengembangan CWL-SukBI atau Cash Waqf Linked Sukuk BI. Namun khusus instrumen ini, BUS dan UUS wajib menggunakan wakaf uang yang ada pada mereka untuk bisa membeli instrumen ini. Ini akan mendorong BUS dan UUS untuk terus mengkampanyekan wakaf uang, karena return yang nantinya diperoleh, dapat disalurkan untuk program-program sosial kesejahteraan yang akan semakin memperkuat kedudukan perbankan syariah di tengah masyarakat.

Dengan CWL-SukBI, maka operasi moneter syariah ini tidak hanya berfungsi dalam konteks stabilitas keuangan syariah, namun juga memiliki dampak riil sosial kesejahteraan yang besar. Operasi moneter yang langsung menjangkau kaum dhuafa negeri ini. Indonesia bisa menjadi pionir di dunia untuk hal ini.

Berikutnya, pada sisi kebijakan pendalaman pasar keuangan syariah, penulis juga berharap OJK dapat mendiskusikan kemungkinan pengembangan inovasi wakaf yang berdampak pada shariah financial deepening. Selain SLW yang diterbitkan oleh negara dan atau pihak swasta, OJK bisa mendorong berkembangnya inovasi produk keuangan syariah berbasis wakaf, seperti cash-waqf linked deposit pada industri perbankan syariah, modal ventura berbasis wakaf, wakaf saham, reksadana wakaf, dan lain-lain.

Penulis yakin, ini akan semakin mendorong penguatan sisi sosial dari industri keuangan syariah. Apalagi jika kemudian OJK juga mewajibkan adanya laporan pengelolaan dana ZISWAF oleh industri perbankan dan keuangan syariah, seperti jumlah wakaf uang yang ada. Jika data wakaf uang juga bisa masuk dalam statistik perbankan syariah yang secara reguler dipublikasikan OJK, tentu akan sangat baik.

Terakhir, pada kebijakan investasi, penulis berharap agar Indonesia juga bisa memiliki suatu institusi seperti Lembaga Pengelolaan Investasi Wakaf (LPIW) maupun Lembaga Penjaminan dan Pengembangan Aset Wakaf (LPPAW) untuk mendorong peran besar institusi wakaf. Manfaat bagi negara akan sangat optimal. Misalnya, dengan membuka ruang masyarakat berwakaf untuk proyek pembangunan negara, seperti pembangunan jalan, maka beban biaya APBN untuk pembebasan lahan dapat diminimalisir.

Masyarakat juga akan termotivasi untuk mendapatkan pahala berkelanjutan meski telah meninggal dunia. Ini baru satu contoh saja, belum lagi manfaat sosial ekonomi lainnya yang juga akan sangat besar. Belum lagi kita bisa mengundang masuknya investasi dana wakaf dari berbagai negara ke Indonesia melalui LPIW.

Penulis menyadari bahwa lontaran gagasan di atas hanyalah ide dan pemikiran untuk bagaimana kita bersama-sama membuat terobosan-terobosan dalam memanfaatkan potensi wakaf yang ada. Untuk merealisasikannya, pasti dibutuhkan adanya dukungan regulasi yang kuat.

Saran penulis, mengapa tidak, kita jadikan RUU Ekonomi Syariah sebagai omnibus law-nya ekonomi syariah di prolegnas 2023? Semua gagasan yang memungkinkan bekerjanya gagasan baru ekonomi syariah dapat dituangkan dalam pembahasan RUU tersebut.

Memang sangat berat, namun semuanya tentu berpulang pada komitmen kita semua, khususnya pemerintah dan DPR. Adapun dari sisi pendekatan meso dan mikro, akan dibahas pada edisi berikutnya, insya Allah. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Filosofi Wakafnomics

Rubrik Iqtishodia, Republika 28 April 2022

Filosofi Wakafnomics

Irfan Syauqi Beik*

Perkembangan wakaf dari waktu ke waktu terus menunjukkan tren yang semakin positif. Meski masih terdapat kesenjangan antara potensi dengan realisasinya, namun upaya perbaikan sistim perwakafan terus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan dikeluarkannya Indeks Wakaf Nasional (IWN), maka upaya perbaikan sistim perwakafan menjadi semakin sistematis, terstruktur dan progresif. IWN telah memberikan pondasi variabel apa saja yang perlu mendapatkan perhatian dalam mendorong sistim perwakafan nasional, yang didukung oleh proses transformasi digital yang semakin kuat.

Dalam konteks penguatan sistim ini, satu hal yang perlu untuk terus dilakukan adalah terkait dengan penguatan pondasi pemahaman publik mengenai wakaf. Terkait hal ini, maka penulis mengusulkan satu konsepsi yang disebut dengan “Wakafnomics”.

Wakafnomics adalah satu pendekatan keilmuan wakaf yang menggunakan ilmu ekonomi sebagai pisau analisisnya, sebagai refleksi dari komprehensivitas ajaran wakaf yang bersifat multidimensi, yang mencakup dimensi spiritualitas, sosial kemanusiaan dan ekologis, hingga dimensi ekonomi. Tentu pendekatan ekonomi yang dimaksud adalah pendekatan ekonomi syariah yang berbasis pada Alquran dan sunnah. Secara konseptual, wakafnomics ini dibangun di atas empat pilar utama, yaitu produktivitas, orientasi falah dan maksimisasi maslahah, keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi, dan konsep growth through equity (tumbuh melalui berbagi).

Pada pilar pertama, wakaf adalah ibadah yang mengajarkan peningnya produktivitas melalui proses purifikasi harta, jiwa dan raga. Proses purifikasi ini pada dasarnya merupakan jalan penyucian dan pembersihan, atau yang dikenal dengan istilah tazkiyah, dimana dengan wakaf, maka jiwa, raga dan harta akan mengalami proses pembersihan. Disucikan dari berbagai penyakit ruhani seperti sifat kikir, bakhil, tidak peduli pada orang lain, dan lain-lain.

Dalam QS 91 : 8-10 dijelaskan bahwa jalan tazkiyah adalah jalan yang akan memberikan keuntungan dan akan dapat mengoptimalkan potensi kebaikan yang ada pada manusia. Sebaliknya, jalan dassiyah, yang merupakan antitesa dari jalan tazkiyah, adalah jalan yang akan memberikan kerugian karena nantinya yang akan mendominasi jalan tersebut adalah potensi keburukan (fujuur) yang ada pada diri manusia. Dominasi potensi kebaikan ini akan meningkatkan produktivitas manusia, termasuk produktivitas ekonomi. Demikian pula sebaliknya, dominasi potensi keburukan akan menjadi faktor yang merusak perilaku ekonomi manusia sehingga dapat melemahkan produktivitas yang ada. Karena wakaf adalah puncak dari semangat berbagi, maka produktivitas yang dihasilkan oleh mereka yang berwakaf juga seharusnya adalah produktivitas yang berada pada level yang paling optimal.

Pilar kedua adalah pondasi falah dan maslahah dalam wakafnomics. Wakaf mengajarkan pentingnya mencapai falah dan maslahah. Falah artinya kemenangan dunia dan akhirat, yang bermakna bahwa tujuan wakaf ini adalah menghantarkan pada kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. Adapun maslahah merupakan satu terminologi yang menggambarkan dua hal, yaitu manfaat dan berkah. Artinya, tercapainya falah hanya bisa dilakukan manakala seseorang mengoptimalkan maslahah dalam setiap keputusan dan tindakan ekonomi yang dilakukannya. Optimisasi maslahah pada dasarnya menjadi antitesa dari konsep self-interest yang menjadi dasar kapitalisme.

Dengan optimisasi maslahah, wakaf mengajarkan kita untuk senantiasa mempertimbangkan kemanfaatan dan keberkahan dalam berekonomi, bukan hanya untuk kepentingan pribadi namun untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Wakafnomics menekankan pentingnya pelaku ekonomi untuk senantiasa menjadi maslahah maximizer. Dengan mengoptimalkan maslahah, kita diajarkan untuk tidak hanya memenuhi kepentingan dan keinginan sendiri, namun juga kebaikan bersama.

Kondisi ini yang akan membuat seseorang tidak merasa berat ketika harus menunaikan kewajiban zakatnya, atau ketika harus berbagi dalam bentuk infak, sedekah dan wakaf. Perilaku sebagai maslahah maximizer inilah yang membuat para sahabat Nabi tidak ragu untuk berbagi. Kisah-kisah dahsyat ZISWAF-nya Abu Bakar RA, Utsman bin Affan RA, Abdurrahman bin Auf RA, Umar bin Khattab RA, dan sahabat lainnya, mencerminkan bagaimana mereka telah menjadi maslahah maximizer. Inilah perilaku ekonomi yang semakin langka dewasa ini akibat individualisme yang diajarkan oleh kapitalisme.

Selanjutnya pilar wakafnomics yang ketiga adalah keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi. Ini merupakan implementasi dari QS 59:7 yang melarang perputaran harta di tangan segelintir kelompok. Harus ada aliran kekayaan yang masuk ke semua segmen masyarakat secara adil dan proporsional. Masalah ketidakadilan ekonomi dan ketidakseimbangan distribusi ini pada dasarnya merupakan akar konflik yang terjadi di berbagai negara di dunia. Karena itu, wakafnomics bekerja atas prinsip bahwa menegakkan keadilan dan keseimbangan ekonomi adalah hal mendasar yang tidak dapat ditawar-tawar. Kebijakan ekonomi yang didasarkan atas filosofi wakafnomics, akan mampu mereduksi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi sekaligus menciptakan kesempatan ekonomi yang adil bagi seluruh komponen masyarakat.

Keadilan dan keseimbangan ini akan tercapai ketika segmen terlemah masyarakat menjadi pihak yang paling mendapat perhatian dan pembelaan dari negara dan pemangku kepentingan lainnya dalam beragam situasi perekonomian. Keadilan tidak mungkin tercapai jika segmen terlemah masyarakat ini yang justru menjadi pihak yang paling dirugikan dari setiap kebijakan ekonomi yang ada.

Adapun yang keempat adalah konsep growth through equity. Wakafnomics mengajarkan bahwa dengan berbagi maka perekonomian akan tumbuh dan berkembang. Ketika wakaf dioptimalkan sebagai instrumen yang mampu memperluas basis produksi masyarakat melalui program-program wakaf yang bersifat produktif, maka sisi supply atau penawaran dalam perekonomian akan tumbuh dan berkembang. Kemudian saat wakaf digunakan untuk memperkuat daya beli masyarakat melalui program-program yang bersifat sosial, maka sisi demand atau permintaan dalam perekonomian juga akan meningkat. Kedua hal ini pada akhirnya akan membuat perekonomian tumbuh secara adil. Inilah esensi dari konsep berbagi bisa menumbuhkan ekonomi. Karena itu, internalisasi pilar wakafnomics ini sangat mendesak untuk dilakukan sebagai bagian dari upaya penguatan peran wakaf dalam melahirkan pembangunan ekonomi nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

PAU dan Penguatan Ekosistem Wakaf*

Iqtishodia Maret 2021

Irfan Syauqi Beik**

Salah satu terobosan penting yang dilakukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah mengkonsolidasikan perguruan-perguruan tinggi yang ada, khususnya yang memiliki program studi atau pusat studi terkait ekonomi dan keuangan syariah, untuk berhimpun dalam satu wadah yang bernama Pusat Antar Universitas (PAU) bidang perwakafan, atau disingkat dengan PAU Wakaf. PAU Wakaf ini resmi diluncurkan oleh Ketua BWI Prof Mohammad Nuh di kampus UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) Bandung pada hari Kamis, 18 Maret 2021. Selain PAU Wakaf, pada saat yang sama juga telah diluncurkan BWI Working Paper Series (BWPS), sebagai media publikasi gagasan, pemikiran dan riset wakaf kontemporer, dan Indeks Wakaf Nasional (IWN) sebagai alat ukur pengelolaan wakaf nasional.

Peluncuran PAU Wakaf ini memiliki arti yang sangat penting dalam memperkuat ekosistem wakaf nasional yang tengah dikembangkan oleh BWI saat ini. Ini dikarenakan posisi perguruan tinggi sebagai salah satu stakeholder strategis dalam gerakan wakaf nasional. Kehadiran PAU Wakaf diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap peningkatan edukasi wakaf masyarakat, sehingga kesadaran masyarakat untuk berwakaf semakin meningkat. Paling tidak, ada empat fokus utama yang melandasi program-program PAU Wakaf ke depan.

Pertama, keberadaan PAU diharapkan dapat memfasilitasi pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi di bidang perwakafan, baik pada aspek pendidikan, penelitian, maupun pengabdian masyarakat. Pada sisi pendidikan, PAU Wakaf diharapkan dapat ikut membantu program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang dikembangkan di kampus-kampus, melalui program atau kegiatan pendidikan yang dapat dikonversi menjadi SKS para mahasiswa di kampus.

Demikian pula halnya dengan penelitian, dimana PAU Wakaf diharapkan dapat menjadi hub yang menghubungkan antara peneliti di satu kampus dengan peneliti di kampus lainnya, untuk dapat berkolaborasi menghasilkan penelitian yang bermanfaat dalam pengembangan wakaf nasional. PAU bisa menjadi tempat pertukaran ide dan gagasan penelitian diantara para anggotanya. Sementara pada aspek pengabdian masyarakat, PAU Wakaf diharapkan dapat menjadi laboratorium praktik dan implementasi konsep wakaf pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat, seperti bagaimana mempraktikkan konsep wakaf produktif di sektor pertanian kepada masyarakat desa sehingga memberikan dampak pada penguatan sektor pertanian di pedesaan.

Kedua, fokus PAU Wakaf adalah pada knowledge production, yaitu kegiatan yang berkaitan dengan produksi pengetahuan, khususnya dalam melahirkan beragam teori dan ilmu baru di bidang perwakafan yang diharapkan dapat menjadi referensi dunia. Belajar dari kesuksesan zakat melalui Pusat Kajian Strategis (Puskas) BAZNAS yang mampu melahirkan banyak pengetahuan dan teori baru di bidang perzakatan, keberadaan PAU Wakaf diharapkan juga mampu memerankan hal tersebut, menjadi hub dalam memproduksi pengetahuan baru di bidang wakaf. Bukan sekedar baru, namun juga aplikatif dan high impact terhadap sistem perwakafan nasional.

Hal ini dapat dicapai ketika PAU Wakaf mampu mendorong para anggotanya untuk melakukan berbagai kajian dan kegiatan inovatif yang mengarah pada lahirnya teori dan pengetahuan wakaf yang baru. Dengan kata lain, PAU Wakaf ini diharapkan bisa menghasilkan high impact knowledge. Oleh karena itu, peluncuran Indeks Wakaf Nasional diharapkan menjadi semangat baru dalam knowledge production ini. IWN adalah alat ukur pengelolaan wakaf yang pertama di dunia.

Ketiga, keberadaan PAU Wakaf diharapkan dapat memperkuat proses transformasi digital dan pengembangan sistim database perwakafan yang saat ini tengah dikembangkan oleh BWI. Transformasi digital adalah kebutuhan dasar dunia wakaf hari ini. Di tengah perubahan kondisi masyarakat yang semakin dekat dengan kehidupan digital, maka sektor perwakafan harus mampu beradaptasi melalui pengembangan digitalisasi yang mampu mengakomodasi proses bisnis pengelolaan wakaf. Misalnya, bagaimana mengembangkan e-services dalam hal pendaftaran nazir dan pendataan aset-aset wakaf, dan mengembangkan saluran digital fundraising dalam pengumpulan wakaf uang. Intinya, melalui digitalisasi ini diharapkan ada peningkatan kualitas ekosistem wakaf yang tengah dibangun BWI.

Sedangkan terkait database, maka proses digitalisasi yang dilakukan diharapkan dapat menjadi jalan penyediaan data yang diperlukan. Salah satu kelemahan pengelolaan wakaf hari ini antara lain terletak pada ketersediaan data yang valid dan reliable sebagai referensi publik, termasuk referensi penelitian. Karena itu, pembenahan basis data melalui digitalisasi ini menjadi program yang sangat penting dan strategis.

Keempat, fokus PAU Wakaf adalah pada penguatan advokasi dan literasi wakaf. Pada sisi advokasi, PAU Wakaf diharapkan dapat memberikan berbagai input dan masukan yang berharga terhadap penguatan regulasi dan kebijakan wakaf di Indonesia, termasuk evaluasi terhadap regulasi yang telah dijalankan selama ini. Sementara pada sisi literasi, PAU Wakaf diharapkan dapat memperkuat diseminasi informasi perwakafan, termasuk penyebarluasan produk-produk pengetahuan baru kepada masyarakat, agar literasi publik semakin meningkat. Peningkatan literasi ini diyakini akan membuat optimalisasi potensi wakaf bisa dilakukan dengan lebih baik. Wallaahu a’lam.

*Artikel ini telah dimuat di Harian Republika, 25 Maret 2021

**Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI