Filosofi Wakafnomics

Rubrik Iqtishodia, Republika 28 April 2022

Filosofi Wakafnomics

Irfan Syauqi Beik*

Perkembangan wakaf dari waktu ke waktu terus menunjukkan tren yang semakin positif. Meski masih terdapat kesenjangan antara potensi dengan realisasinya, namun upaya perbaikan sistim perwakafan terus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan dikeluarkannya Indeks Wakaf Nasional (IWN), maka upaya perbaikan sistim perwakafan menjadi semakin sistematis, terstruktur dan progresif. IWN telah memberikan pondasi variabel apa saja yang perlu mendapatkan perhatian dalam mendorong sistim perwakafan nasional, yang didukung oleh proses transformasi digital yang semakin kuat.

Dalam konteks penguatan sistim ini, satu hal yang perlu untuk terus dilakukan adalah terkait dengan penguatan pondasi pemahaman publik mengenai wakaf. Terkait hal ini, maka penulis mengusulkan satu konsepsi yang disebut dengan “Wakafnomics”.

Wakafnomics adalah satu pendekatan keilmuan wakaf yang menggunakan ilmu ekonomi sebagai pisau analisisnya, sebagai refleksi dari komprehensivitas ajaran wakaf yang bersifat multidimensi, yang mencakup dimensi spiritualitas, sosial kemanusiaan dan ekologis, hingga dimensi ekonomi. Tentu pendekatan ekonomi yang dimaksud adalah pendekatan ekonomi syariah yang berbasis pada Alquran dan sunnah. Secara konseptual, wakafnomics ini dibangun di atas empat pilar utama, yaitu produktivitas, orientasi falah dan maksimisasi maslahah, keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi, dan konsep growth through equity (tumbuh melalui berbagi).

Pada pilar pertama, wakaf adalah ibadah yang mengajarkan peningnya produktivitas melalui proses purifikasi harta, jiwa dan raga. Proses purifikasi ini pada dasarnya merupakan jalan penyucian dan pembersihan, atau yang dikenal dengan istilah tazkiyah, dimana dengan wakaf, maka jiwa, raga dan harta akan mengalami proses pembersihan. Disucikan dari berbagai penyakit ruhani seperti sifat kikir, bakhil, tidak peduli pada orang lain, dan lain-lain.

Dalam QS 91 : 8-10 dijelaskan bahwa jalan tazkiyah adalah jalan yang akan memberikan keuntungan dan akan dapat mengoptimalkan potensi kebaikan yang ada pada manusia. Sebaliknya, jalan dassiyah, yang merupakan antitesa dari jalan tazkiyah, adalah jalan yang akan memberikan kerugian karena nantinya yang akan mendominasi jalan tersebut adalah potensi keburukan (fujuur) yang ada pada diri manusia. Dominasi potensi kebaikan ini akan meningkatkan produktivitas manusia, termasuk produktivitas ekonomi. Demikian pula sebaliknya, dominasi potensi keburukan akan menjadi faktor yang merusak perilaku ekonomi manusia sehingga dapat melemahkan produktivitas yang ada. Karena wakaf adalah puncak dari semangat berbagi, maka produktivitas yang dihasilkan oleh mereka yang berwakaf juga seharusnya adalah produktivitas yang berada pada level yang paling optimal.

Pilar kedua adalah pondasi falah dan maslahah dalam wakafnomics. Wakaf mengajarkan pentingnya mencapai falah dan maslahah. Falah artinya kemenangan dunia dan akhirat, yang bermakna bahwa tujuan wakaf ini adalah menghantarkan pada kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. Adapun maslahah merupakan satu terminologi yang menggambarkan dua hal, yaitu manfaat dan berkah. Artinya, tercapainya falah hanya bisa dilakukan manakala seseorang mengoptimalkan maslahah dalam setiap keputusan dan tindakan ekonomi yang dilakukannya. Optimisasi maslahah pada dasarnya menjadi antitesa dari konsep self-interest yang menjadi dasar kapitalisme.

Dengan optimisasi maslahah, wakaf mengajarkan kita untuk senantiasa mempertimbangkan kemanfaatan dan keberkahan dalam berekonomi, bukan hanya untuk kepentingan pribadi namun untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Wakafnomics menekankan pentingnya pelaku ekonomi untuk senantiasa menjadi maslahah maximizer. Dengan mengoptimalkan maslahah, kita diajarkan untuk tidak hanya memenuhi kepentingan dan keinginan sendiri, namun juga kebaikan bersama.

Kondisi ini yang akan membuat seseorang tidak merasa berat ketika harus menunaikan kewajiban zakatnya, atau ketika harus berbagi dalam bentuk infak, sedekah dan wakaf. Perilaku sebagai maslahah maximizer inilah yang membuat para sahabat Nabi tidak ragu untuk berbagi. Kisah-kisah dahsyat ZISWAF-nya Abu Bakar RA, Utsman bin Affan RA, Abdurrahman bin Auf RA, Umar bin Khattab RA, dan sahabat lainnya, mencerminkan bagaimana mereka telah menjadi maslahah maximizer. Inilah perilaku ekonomi yang semakin langka dewasa ini akibat individualisme yang diajarkan oleh kapitalisme.

Selanjutnya pilar wakafnomics yang ketiga adalah keadilan ekonomi dan keseimbangan distribusi. Ini merupakan implementasi dari QS 59:7 yang melarang perputaran harta di tangan segelintir kelompok. Harus ada aliran kekayaan yang masuk ke semua segmen masyarakat secara adil dan proporsional. Masalah ketidakadilan ekonomi dan ketidakseimbangan distribusi ini pada dasarnya merupakan akar konflik yang terjadi di berbagai negara di dunia. Karena itu, wakafnomics bekerja atas prinsip bahwa menegakkan keadilan dan keseimbangan ekonomi adalah hal mendasar yang tidak dapat ditawar-tawar. Kebijakan ekonomi yang didasarkan atas filosofi wakafnomics, akan mampu mereduksi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi sekaligus menciptakan kesempatan ekonomi yang adil bagi seluruh komponen masyarakat.

Keadilan dan keseimbangan ini akan tercapai ketika segmen terlemah masyarakat menjadi pihak yang paling mendapat perhatian dan pembelaan dari negara dan pemangku kepentingan lainnya dalam beragam situasi perekonomian. Keadilan tidak mungkin tercapai jika segmen terlemah masyarakat ini yang justru menjadi pihak yang paling dirugikan dari setiap kebijakan ekonomi yang ada.

Adapun yang keempat adalah konsep growth through equity. Wakafnomics mengajarkan bahwa dengan berbagi maka perekonomian akan tumbuh dan berkembang. Ketika wakaf dioptimalkan sebagai instrumen yang mampu memperluas basis produksi masyarakat melalui program-program wakaf yang bersifat produktif, maka sisi supply atau penawaran dalam perekonomian akan tumbuh dan berkembang. Kemudian saat wakaf digunakan untuk memperkuat daya beli masyarakat melalui program-program yang bersifat sosial, maka sisi demand atau permintaan dalam perekonomian juga akan meningkat. Kedua hal ini pada akhirnya akan membuat perekonomian tumbuh secara adil. Inilah esensi dari konsep berbagi bisa menumbuhkan ekonomi. Karena itu, internalisasi pilar wakafnomics ini sangat mendesak untuk dilakukan sebagai bagian dari upaya penguatan peran wakaf dalam melahirkan pembangunan ekonomi nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan. Wallaahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Memperkuat Literasi Wakaf

Irfan Syauqi Beik*

Sektor perwakafan di Indonesia terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya animo berwakaf masyarakat dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data yang ada, pengumpulan wakaf uang periode 2018-2021 mencapai angka Rp 855 miliar, naik 235,29 persen dari pengumpulan wakaf sepanjang periode 2011-2018 yang mencapai angka Rp 255 miliar. Namun angka ini baru mencapai setengah persen dari total potensi wakaf uang yang mencapai angka Rp 180 triliun. Jadi gap antara potensi dengan realisasinya masih sangat besar.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya kesenjangan antara potensi dan realisasi wakaf adalah masih rendahnya tingkat literasi wakaf masyarakat. Studi yang dilakukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Kementerian Agama tahun 2020 lalu menunjukkan bahwa skor indeks literasi wakaf baru mencapai angka 50,48 yang berada pada kategori rendah. Ini berarti tingkat pemahaman publik terhadap wakaf masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Karena itu, penguatan program literasi menjadi kata kunci yang perlu mendapat perhatian seluruh pegiat perwakafan di Indonesia.

Tiga Konsep Literasi

Dalam konteks penguatan literasi ini, ada tiga konsep literasi yang perlu disosialisasikan, yaitu literasi tentang harta obyek wakaf, literasi tentang peruntukan harta benda wakaf, dan literasi kelembagaan wakaf.

Pertama, literasi tentang harta obyek wakaf atau mauquf bihi, dimana harta yang bisa diwakafkan bukan hanya berupa aset tetap seperti rumah, sawah dan gedung, namun dapat juga berupa uang. Masih banyak warga masyarakat yang belum memahami konsepsi wakaf uang ini dengan benar, dan bahkan masih ragu apakah wakaf uang diperbolehkan secara syariah atau tidak. Padahal Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 2002 telah mengeluarkan fatwa mengenai wakaf uang, yang menegaskan bahwa mewakafkan uang adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah. Dalam fatwanya tersebut, selain menyitir ayat-ayat Al-Quran seperti QS 3:92 dan QS 2:261-262 dan hadits-hadits terkait, MUI juga merujuk pada pendapat sejumlah ulama terkemuka dalam sejarah, antara lain Imam Az-Zuhri, dan sejumlah ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafii.

Imam Az-Zuhri (wafat tahun 124 H) menyatakan bahwa boleh mewakafkan uang dinar, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha dan kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf alaih (penerima manfaat wakaf). Dijadikan sebagai modal usaha, atau dalam bahasa lain diinvestasikan, pada dasarnya merupakan upaya untuk menjaga nilai pokok dari uang tersebut agar tidak berkurang. Demikian pula Abu Tsaur yang meriwayatkan dari Imam Syafii tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (wakaf uang). Intinya, berwakaf uang merupakan sesuatu yang sesuai dengan syariah. Dalam prakteknya, wakaf uang ini juga telah berkembang dari masa ke masa, dan puncaknya adalah pada masa kekhilafahan Turki Usmani, dimana wakaf uang menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi utama dunia selama kurang lebih tiga abad.

Adapun saat ini, wakaf uang juga telah dipraktekkan di berbagai belahan dunia, seperti di Malaysia, Arab Saudi, Singapura dan Inggris. Dengan masuknya wakaf uang dalam peraturan perundang-undangan di negeri ini, maka masyarakat tidak perlu memiliki keraguan atas keberadaan wakaf uang. Wakaf uang ini akan membuka ruang dan peluang bagi siapapun untuk bisa berwakaf dan merasakan nikmatnya mendapatkan aliran pahala yang abadi. Seseorang bisa berwakaf dengan nilai berapapun, mulai dari ribuan, jutaan, hingga milyaran rupiah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Untuk semakin memudahkan masyarakat, maka BWI sejak 2021 telah mengembangkan platform berkahwakaf.id sebagai sarana untuk mengoptimalkan pengumpulan wakaf uang, maupun wakaf melalui uang dimana nantinya uang wakaf yang terkumpul ini digunakan untuk membiayai sejumlah program, baik di bidang pendidikan, kesehatan, dakwah, maupun ekonomi. Dengan adanya proses digitalisasi ini, maka berwakaf uang dan berwakaf melalui menjadi semakin mudah.

Selanjutnya, liiterasi yang kedua adalah terkait peruntukan harta wakaf. Pada dasarnya, yang dipahami masyarakat secara umum adalah bahwa peruntukan harta wakaf adalah untuk masjid, madrasah dan pemakaman. Padahal, peruntukan harta wakaf ini sangat luas, dan dapat mencakup seluruh bidang kehidupan selama berorientasi pada kemaslahatan dan kepentingan bersama. Harta wakaf bisa digunakan untuk berbagai keperluan, seperti rumah sakit untuk kebutuhan sektor kesehatan, pasar dan pabrik untuk keperluan pengembangan bisnis masyarakat, pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, untuk investasi di industri halal, dan lain-lain. Dengan pemahaman seperti ini, maka ketika seseorang mewakafkan harta yang dimilikinya, maka peruntukan harta wakaf tersebut bisa sangat bervariasi dan beragam. Para wakif bisa memiliki opsi yang beragam terkait peruntukan harta yang diwakafkannya.

Literasi Kelembagaan

Literasi yang ketiga adalah terkait kelembagaan pengelola wakaf atau nazhir. Dari sisi kelembagaan nazhir, data BWI menunjukkan bahwa saat ini terdapat 421 ribu nazhir perorangan, 511 nazhir institusi, dan 303 institusi nazhir wakaf uang (Laporan IWN 2021). Data ini menunjukkan bahwa mayoritas nazhir adalah individu. Sebagai pihak yang berwakaf, seorang wakif tentu akan mewakafkan hartanya pada orang yang dipercayainya, sehingga rata-rata mereka mewakafkan hartanya pada nazhir individu.

Hal ini tentu sangat wajar, karena tanpa kepercayaan, mustahil orang akan menyerahkan kepemilikan hartanya pada pihak lain. Namun pada jangka panjang, hal ini berpotensi menumbulkan persoalan, terutama jika sang nazhir telah wafat. Banyak konflik atas aset wakaf terjadi pasca wafatnya sang nazhir. Untuk itu, transformasi nazhir individu menjadi nazhir institusi perlu untuk terus didorong dan dikembangkan, agar keberlanjutan pemanfaatan dan pengembangan harta wakaf bisa terus dilakukan.

Selain itu, dalam konteks kelembagaan, perlu disosialisasikan bahwa Indonesia saat ini telah memiliki alat ukur kinerja perwakafan berupa Indeks Wakaf Nasional (IWN). IWN merupakan alat ukur kinerja perwakafan pertama di dunia, dan telah diresmikan menjadi bagian dari kebijakan BWI sejak tahun 2021 lalu. Publik dapat melihat bagaimana kondisi aktual pengelolaan wakaf ini melalui Laporan IWN yang tersedia pada website resmi BWI. Skor IWN tahun 2021 adalah 0,139, naik sedikit dari 0,123 pada tahun 2020.

Peningkatan angka IWN ini, meski kecil, menunjukkan adanya perbaikan pada pengelolaan wakaf nasional. Penulis meyakini bahwa penguatan ketiga jenis literasi di atas dapat membantu meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam upaya penguatan pembangunan wakaf nasional, sehingga peran wakaf bisa semakin optimal. Wallaahu a’lam.

 

*Penulis adalah Anggota (Komisioner) Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB