Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Asuransi Syariah

Bagikan

Asuransi syariah merupakan upaya saling melindungi, saling menanggung risiko, dan tolong menolong satu sama lain.

Marhamah Muthohharoh

 

Pernahkah para pembaca beramai-ramai sekeluarga mengumpulkan uang ketika ada sanak saudara yang sakit? Pernahkah para pembaca beramairamai‘patungan’ ketika ada teman atau kolega yang meninggal dunia? Atau pernahkan para pembaca mengalami musibah, lalu dibantu secara materi beramai-ramai oleh saudara, tetangga, atau teman?

Paling tidak satu di antara 10 penduduk Indonesia rasanya pernah mengalami atau melakukan hal-hal tersebut. Lantas, bagaimana jika uang yang dikumpulkan untuk membantu satu sama lain itu dikelola oleh suatu lembaga atau perusahaan yang hasil pengelolaannya kemudian digunakan kembali untuk membantu satu sama lain? Nama lembaga itu adalah perusahaan asuransi syariah.

Beramai-ramai membantu, tolongmenolong, dan bergotong royong merupakan ciri khas yang melekat erat dalam karakteristik dan kehidupan masyarakat Indonesia. Mengutip Maulana Irfan dalam “Crowdfunding Sebagai Pemaknaan Energi Gotong Royong Terbarukan” (2017), praktik gotong royong telah ada sejak lama di berbagai daerah di Indonesia.

Masyarakat mengenal istilah lain dari gotong royong, seperti sambatan, gentosan (gantian), gugur gunung, alang tulung, ngayah, tetulong layat, dan lainlain. Gotong royong menunjukkan hubungan sosial yang kuat antar individu dengan saling membantu demi kepentingan bersama. Dalam gotongroyong, setiap orang berkomitmen untuk saling mendukung dan bekerja sama tanpa pamrih.

Nilai kerja sama, gotong royong, saling membantu dan tolong-menolong di antara masyarakat Indonesia sejalan dengan nilai-nilai kebaikan dalam Islam. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim dengan Muslim yang lain adalah bersaudara. Ia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya kepada saudaranya yang Muslim. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa membebaskan seorang Muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak”

Tidak hanya itu, Allah SWT dalam firman-Nya juga telah menyuruh umatnya untuk tolong-menolong, terutama dalam kebaikan, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Maidah ayat 2: “Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Perkembangan asuransi syariah di Indonesia tentu tak lepas dari perkembangan ekonomi dan keuangan syariah itu sendiri. Asuransi syariah di Indonesia hadir sejak tahun 1994, berselang tiga tahun saja sejak didirikannya bank syariah pertama di Indonesia. Pendirian PT Syarikat Takaful Indonesia (Takaful Indonesia) pada 24 Februari 1994, menjadi tonggak sejarah dalam industri asuransi berbasis syariah di Indonesia.

Lalu, pada 5 Mei 1994, Takaful Indonesia mendirikan PT Asuransi Takaful Keluarga (Takaful Keluarga), yang bergerak di bidang asuransi jiwa syariah, dan PT Asuransi Takaful Umum (Takaful Umum) yang bergerak di bidang asuransi umum.

Dari sisi hukum, perkembangan asuransi syariah di Indonesia didukung dengan terbitnya fatwa DSN MUI 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa tersebut didukung dengan penerbitan fatwa lainnya terkait asuransi syariah, seperti Fatwa Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa Nomor 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah. Ada juga fatwa Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah.

Asuransi syariah juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah.

Peraturan-peraturan yang sudah ada kemudian diperkuat dengan diterbitkannya Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang diubah menjadi UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Terbitnya undang-undang tersebut menjadi isyarat bahwa penyelenggaraan asuransi syariah di Indonesia secara resmi diakui dan terikat oleh hukum.

Pada tataran teknis, penyelenggaraan asuransi syariah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/POJK.05/2020 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

Sejak pendiriannya, asuransi syariah di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat, ditandai dengan jumlah industri syariah yang mencapai 15 unit dan perusahaan paket investasi syariah sejumlah 43 unit per April 2023, merujuk pada data Statistik IKNB Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Aset asuransi syariah yang berasal dari asuransi jiwa syariah, asuransi umum syariah, reasuransi syariah secara total mencapai Rp 45,7 triliun dengan aset produktif sebesar Rp 36,6 triliun pada periode yang sama.

Gotong royong dalam asuransi syariah baik asuransi syariah maupun asuransi konvensional, keduanya merupakan upaya untuk meminimalkan dampak atau risiko dari terjadinya kejadian yang tak terduga dan tak diharapkan. Namun, asuransi syariah tentunya berbeda dengan asuransi konvensional.

Asuransi konvensional menerapkan prinsip transfer of risk, yakni pemindahan risiko dari tertanggung (pemegang polis) kepada penanggung (perusahaan asuransi). Sedangkan prinsip yang digunakan pada asuransi syariah adalah sharing of risk, yakni saling menanggung risiko antara satu peserta asuransi syariah dan peserta lainnya.

Menurut fatwa DSN MUI 21/DSNMUI/X/2001, asuransi syariah (ta’min, takaful, tadhamun) adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’, yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.

Pengelolaan asuransi syariah didasarkan pada praktik takaful di mana peserta saling membantu dan saling menanggung risiko. Salah satu akad yang digunakan adalah tabarru’. Tabarru secara bahasa diartikan sebagai derma, sumbangan, atau hibah. Arti yang lebih luas, tabarru’ berarti melakukan suatu kebaikan tanpa persyaratan (Witasari dan Abdullah, 2014).

Tabarru’ merupakan kontribusi sukarela yang diberikan oleh peserta asuransi syariah untuk membantu peserta lain yang mengalami kerugian akibat musibah atau risiko tertentu. Tabarru’ inilah yang menjadi pembeda yang signifikan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.

Pada asuransi syariah, dana yang digunakan untuk pembayaran klaim asuransi berasal dari dana tabarru’. Adanya pembedaan antara dana peserta dan dana tabarru’ menyebabkan tidak adanya dana hangus pada asuransi syariah, berbeda dengan asuransi konvensional.

Merujuk OJK, selain tabarru’, dalam asuransi syariah juga digunakan akad tijarah (mudharabah), akad wakalah bil ujrah, dan akad mudharabah musytarakah.

Selain akad tabarru’, terdapat hal lain yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Pada asuransi syariah terdapat pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertanggung jawab memastikan transaksi pada asuransi syariah sudah sesuai dengan prinsip syariah.

Berbeda dengan asuransi konvensional di mana keuntungan pengelolaan dana diberikan sepenuhnya kepada perusahaan, keuntungan dari pengelolaan dana asuransi syariah dibagi secara merata kepada semua peserta. Pada asuransi syariah, surplus underwriting juga akan dibagi secara prorata kepada para peserta.

Sementara itu, asuransi konvensional tidak memberlakukan pengembalian dana keuntungan. Pada asuransi syariah, seluruh peserta asuransi memiliki kepemilikan bersama atas dana premi atau kontribusi, sementara perusahaan hanya bertugas sebagai pengelola dana asuransi. Ini tentunya berbeda dengan asuransi konvensional, di mana perusahaan yang menjadi pemilik atas dana premi dan dapat menggunakannya sesuai kesepakatan awal.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi syariah lebih dari sekadar meminimalkan dampak atau risiko, tapi juga merupakan upaya saling melindungi, saling menanggung risiko, dan saling menolong satu sama lain, khususnya di antara sesama peserta asuransi syariah.

Tentunya hal ini bukan suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia yang senang menolong satu sama lain, bahkan bergotong royong dalam membantu sesama. Nilai kearifan lokal yang melekat erat pada karakteristik dan kehidupan masyarakat Indonesia.

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, merupakan pasar yang menjanjikan bagi industri asuransi syariah. Namun kenyataannya, jauh panggang dari api. Merujuk pada Statistik IKNB Syariah OJK per April 2023, penetrasi asuransi syariah di Indonesia hanya 0,13 persen. Angka itu pun menurun dari 0,139 persen pada April tahun sebelumnya. Rendahnya penetrasi asuransi syariah di Indonesia tidak terlepas dari rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia terhadap keuangan syariah yang hanya mencapai 9,14 persen pada tahun 2022, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi (SNLKI) yang dilaksanakan OJK. Sementara, indeks literasi keuangan konvensional mencapai 49,68 persen.

Selain itu, persepsi masyarakat terhadap asuransi secara umum juga berdampak pada rendahnya penetrasi asuransi syariah di Indonesia. Tidak dapat dimungkiri bahwa asuransi memiliki citra yang tidak cukup baik di masyarakat disebabkan adanya beberapa kejadian, seperti kasus dugaan penipuan asuransi. Belum lagi proses klaim yang sulit dan uang yang hangus padahal sudah membayar premi yang mahal.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, alangkah baiknya jika masyarakat dapat memperhatikan hal-hal berikut sebelum menggunakan asuransi syariah. Pertama, memastikan bahwa perusahaan asuransi syariah sudah terdaftar secara resmi di OJK.

Kedua, memilih perusahaan asuransi syariah dengan produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan. Ketiga, mempelajari dan memahami besaran premi atau kontribusi beserta manfaat yang ditetapkan serta persyaratan klaim yang disyaratkan

Keempat, memilih perusahaan asuransi syariah yang memiliki reputasi yang baik dan rekanan dengan lembagalembaga kesehatan yang berkualitas. Dalam memilih asuransi syariah, tentunya akan lebih baik jika meniatkan memberikan dana tabarru’ untuk saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah jika ada yang terkena musibah. Sehingga tidak hanya berasuransi, tetapi juga sembari berbuat baik tolong-menolong satu sama lain.

Kategori

Lebih Lanjut