Omnibus Law Cipta Kerja dan Masa Depan ZISWAF

Bagikan

Keberadaan UU Cipta Kerja ini tentu memberikan perubahan yang sangat fundamental, terutama pada 10 area yang menjadi ruang lingkup UU ini, yaitu : (i) peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; (ii) ketenagakerjaan; (iii) kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan UMKM; (iv) kemudahan berusaha; (v) dukungan riset dan inovasi; (vi) pengadaan tanah; (vii) kawasan ekonomi; (viii) investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; (ix) pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan (x) pengenaan sanksi. Keseluruhan UU yang terkait sepuluh area tersebut diubah dan menyesuaikan dengan UU Cipta Kerja ini. Dengan kata lain, aturan-aturan yang ditetapkan UU yang lain, masih terus berlaku selama tidak bertentangan dengan UU Cipta Kerja ini.

Dalam perspektif ZISWAF (zakat, infak, sedekah, dan wakaf), maka keberadaan UU Cipta Kerja pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap regulasi yang telah ada. Dalam UU No 11/2020 ini ditemukan 10 kata zakat, 4 kata wakaf, 2 kata amil, dan 2 kata nadzir. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya fokus UU Cipta Kerja ini memang tidak pada sektor zakat dan wakaf. Aturan terkait zakat dan wakaf dalam UU Cipta Kerja lebih banyak dikarenakan adanya perubahan aturan lain, seperti aturan tentang pajak dan tanah, yang berimbas pada sektor zakat dan wakaf. Padahal banyak aspirasi terhadap perubahan ketentuan perzakatan dan perwakafan agar realisasi potensi zakat dan wakaf yang sangat besar ini dapat berjalan secara optimal.

Zakat dalam UU Cipta Kerja

Secara khusus, ketentuan yang terkait langsung dengan zakat dalam UU Cipta Kerja ini terletak pada isu perpajakan khususnya Pasal 111, dimana pasal ini mengubah sejumlah ketentuan yang ada pada UU No 7/1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah diubah beberapa kali, dimana perubahan terakhir adalah pada UU No 36/2008. Pada pasal ini, dijelaskan bahwa diantara yang dikecualikan dari obyek pajak adalah bantuan atau sumbangan termasuk zakat. Syaratnya, zakat tersebut dibayarkan kepada lembaga resmi, yaitu BAZNAS dan LAZ (Lembaga Amil Zakat).

Jadi pada Pasal 111 ini, selain menegaskan kedudukan zakat sebagai obyek pajak yang dikecualikan, juga menegaskan bahwa hal tersebut bisa dilaksanakan apabila penunaian kewajiban zakat dilakukan melalui institusi resmi. Hal ini akan memperkuat kedudukan BAZNAS dan LAZ dalam konteks keabsahan bukti setor zakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perpajakan.

Namun demikian, jika melihat konstruksi aturan ini, maka sesungguhnya hal ini belum sepenuhnya sejalan dengan aspirasi umat, dimana kita menghendaki agar para pembayar zakat kepada BAZNAS dan LAZ resmi, bisa mendapatkan insentif berupa kredit pajak. Artinya, zakat menjadi pengurang pajak langsung, bukan menjadi pengurang pendapatan kena pajak sebagaimana yang terjadi saat ini. Penulis meyakini, berdasarkan pengalaman Malaysia yang telah menerapkan zakat sebagai tax rebate sejak awal tahun 90an, maka kebijakan tersebut justru menaikkan pendapatan zakat dan pajak sekaligus. Tidak ada trade off diantara zakat dan pajak, dimana yang satu naik maka yang lain akan mengalami penurunan.

Dalam konteks Indonesia, sesungguhnya penerapan zakat sebagai tax rebate bisa diujicobakan di Provinsi NAD. Di Aceh, zakat diperlakukan sebagai bagian dari komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sebagai pengurang pajak langsung. Zakat pun juga merupakan hal yang sifatnya wajib ditunaikan oleh setiap masyarakat muslim Aceh yang telah memenuhi syarat sebagai muzakki. Hal ini sejalan dengan UU No  11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya Pasal 192. Namun hingga saat ini, ketentuan tersebut belum dapat diakomodir dan dilaksanakan karena dianggap tidak sesuai dengan UU Pajak Penghasilan.

Seharusnya, semua pihak, terutama pemerintah pusat dan pemerintah provinsi NAD bersama-sama menjadikan Aceh sebagai laboratorium untuk menguji tesis terkait pengalaman Malaysia. Apakah yang terjadi di negeri jiran tersebut dapat juga terjadi di Indonesia atau tidak. Inilah kesempatan untuk membuktikan hal tersebut melalui implementasi zakat sebagai pengurang pajak langsung di Aceh.

Alternatif lain, penulis mengusulkan agar zakat bisa dimasukkan sebagai pos keempat penerimaan negara, melengkapi pajak, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan penerimaan hibah dan lain-lain. Di Aceh, hal ini sudah diterapkan dimana zakat dijadikan sebagai salah satu komponen PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kontribusi zakat cukup baik terhadap PAD Aceh, baik PAD provinsi maupun kabupaten kota. Tahun 2018 lalu misalnya, kontribusi zakat terhadap PAD Provinsi Aceh mencapai angka Rp 86,43  milyar dari keseluruhan PAD sebesar Rp 2,4 trilyun. Namun jika di-break down lebih dalam, maka PAD zakat ini nilainya lebih besar dari pendapatan retribusi daerah yang mencapai angka Rp 28,8 milyar. Ini menunjukkan bahwa keberadaan zakat membawa implikasi penting pada struktur penerimaan daerah.

Dengan pengalaman di Aceh, maka peluang penerapan kebijakan zakat sebagai pos keempat penerimaan negara sangat mungkin dilakukan, dengan syarat bahwa aturan pengeluaran zakat dibedakan dengan aturan pajak, PNBP, dan penerimaan hibah dan lain-lain. Zakat yang diterima harus segera disalurkan untuk kepentingan para mustahik, melalui berbagai program yang bersifat konsumtif maupun produktif, jangka pendek maupun jangka panjang. Dana zakat tidak boleh ditahan terlalu lama karena akan berdampak pada kesejahteraan mustahik.  Sebagai pos keempat, maka keberadaan zakat sebagai pengurang pajak langsung tidak akan mengurangi total penerimaan negara secara keseluruhan. Tinggal sekarang, apakah keputusan politik negara bisa mengakomodasi aspirasi ini atau tidak. Ini adalah pekerjaan rumah politik zakat di Indonesia.

Hal krusial lainnya adalah belum diterapkannya kewajiban zakat dari sisi hukum negara kepada mereka yang sudah termasuk dalam kategori muzakki. UU yang ada lebih banyak mengatur aspek kelembagaan pengelola zakat, yang terdiri atas BAZNAS dan LAZ, dan belum mengatur kewajiban menunaikan zakat dari sisi hukum positif. Dengan kata lain, dari sudut hukum negara maka zakat masih dianggap sebagai sesuatu yang bersifat sukarela (voluntary) dan belum bersifat wajib (mandatory).

Dalam konteks ini, Indonesia masih tertinggal oleh negara tetangga kita yaitu Singapura. Di dalam Administration Muslim Law Act, yang menjadi dasar hukum pengaturan kehidupan beragama umat Islam Singapura, dijelaskan bahwa mereka yang sudah terkena kewajiban zakat namun enggan menunaikannya, diancam dengan hukuman denda sebesar SGD 500 (sekitar Rp 5,4 juta) atau penjara selama 6 bulan atau kedua-duanya, denda dan penjara. Ini untuk zakat harta (maal). Sementara jika tidak membayar zakat fitrah, maka dapat didenda sebesar SGD 50 (Rp 540 ribu) atau penjara selama satu bulan, atau kedua-duanya. Kewajiban zakat tersebut harus ditunaikan melalui Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) yang merupakan lembaga negara yang bertanggung jawab dalam menangani urusan keagamaan umat Islam di Singapura.

Pelajaran dari Singapura seharusnya memberikan gambaran kepada kita bahwa Indonesia sebagai negara muslim mayoritas, tidak perlu ragu dalam menjadikan zakat sebagai sesuatu yang wajib dari sisi hukum positif layaknya pajak. Apabila ini dilakukan, maka realisasi pengumpulan zakat akan mendekati atau bahkan sama dengan potensinya yang mencapai angka Rp 233,8 trilyun, sesuai dengan studi Pusat Kajian Strategis BAZNAS tahun 2019 lalu.

Wakaf dalam UU Cipta Kerja

Selanjutnya, aturan terkait wakaf dalam UU Cipta Kerja ini terdapat pada Pasal 123 terkait dengan obyek pengadaan tanah. Jika terdapat perubahan lokasi tanah wakaf, maka nilai ganti rugi yang dikenakan harus sama dengan nilai hasil penilaian penilai atas harta benda wakaf yang diganti. Pihak yang berhak menerima ganti rugi ini adalah nazir, sebagai institusi yang diberi mandat dalam mengelola wakaf. Dengan konstruksi UU Cipta Kerja ini, fokus wakaf yang dibahas dalam UU ini hanyalah terkait dengan tanah wakaf, itu pun spesifik terkait dengan ganti rugi.

Namun demikian, yang perlu diwaspadai dalam prakteknya adalah jangan sampai ruislag tanah wakaf ini sedemikian mudah dilakukan. Jika ini dibiarkan, maka ada potensi terjadinya konversi lahan wakaf strategis menjadi lahan non-wakaf, sementara lokasinya dapat dipindahkan ke lokasi yang tidak strategis selama nilainya masih sama. Jika ada tanah 100 meter persegi di lokasi strategis dengan nilai Rp 1 milyar, kemudian diganti dengan tanah seluas 200 meter persegi dengan nilai yang sama namun di lokasi yang tidak strategis, maka hal tersebut akan mengurangi nilai ekonomi dari tanah wakaf tersebut. Jangan sampai, atas nama investasi, terjadi peningkatan laju konversi lahan wakaf ke tempat yang tidak strategis.

Yang seharusnya diperhatikan justru bagaimana mengamankan lahan produktif, khususnya untuk sektor pertanian, agar jangan sampai dikonversi menjadi lahan untuk pengembangan sektor lain, seperti perumahan, yang dapat mengurangi kapasitas produksi pangan kita. Disinilah pentingnya wakaf dalam menahan laju konversi lahan produktif tersebut. Kita dapat menjadikannya sebagai program nasional perlindungan lahan produktif melalui mekanisme wakaf.

Dalam hal ini, BWI (Badan Wakaf Indonesia) dapat mengembangkan program Wakaf Lahan Pertanian (WLP) dengan melakukan dua hal. Pertama, membuka kesempatan kepada mereka yang memiliki lahan produktif untuk menjadi wakif dengan mewakafkan tanahnya melalui BWI. Kedua, BWI melakukan penggalangan wakaf uang, yang nantinya akan digunakan untuk membeli lahan produktif dari pemilik lahan yang membutuhkan dana. Jika ini dilakukan secara masif, maka tentu akan berdampak pada penguatan kedaulatan pangan negeri ini.

Literasi ZISWAF

Dari pembahasan UU Cipta Kerja ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa literasi ZISWAF para pengambil kebijakan masih perlu ditingkatkan. Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi yang menyeluruh agar ZISWAF dipahami bukan hanya sebagai instrumen agama, namun juga sebagai instrumen sosial ekonomi yang memiliki dampak pada upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, termasuk mitigasi terhadap dampak pandemi Covid-19. Selain itu ZISWAF juga harus ditempatkan dalam konteks membangun sistem ekonomi yang berkeadilan, karena ZISWAF mampu menjamin adanya aliran kekayaan dari kelompok mampu kepada kelompok tidak mampu. Secara makro, ini juga akan semakin mengurangi ketimpangan dan kesenjangan ekonomi.

Ketika membahas ekosistem investasi dan kegiatan berusaha serta perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan UMKM, sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja, ZISWAF memiliki potensi besar dalam menunjang terwujudnya ekosistem yang dimaksud ketika ditempatkan pada posisi yang tepat. Dana zakat dapat disalurkan untuk memberikan bantuan modal kerja bagi usaha mikro dan kecil agar bisa terus tumbuh dan berkembang, sehingga bisa naik kelas menjadi usaha menengah dan usaha besar. Demikian pula wakaf uang dapat disalurkan sebagai modal bagi UMKM dengan skema pembiayaan yang tidak memberatkan UMKM.

Sebagai contoh, sepanjang periode Januari – Oktober 2020, BAZNAS Pusat telah menyalurkan bantuan ekonomi kepada 131,7 ribu mustahik di berbagai wilayah di Indonesia. Program ekonomi dilakukan dengan berbagai pendekatan. Ada yang melalui pendekatan community development, pendekatan microfinance dengan skema qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga), pendekatan produksi melalui program mustahik pengusaha dan mustahik peternak, pendekatan program strategis seperti lumbung pangan, dan penguatan akses pasar agar barang dan jasa yang diproduksi mustahik dapat diserap pasar dengan baik.

Selain itu, BAZNAS dan LAZ seluruh Indonesia juga sangat aktif dalam memitigasi dampak pandemi covid-19 ini melalui tiga program utama yang dilakukannya, yaitu darurat kesehatan, darurat sosial ekonomi, dan menjaga keberlangsungan program existing agar mustahik yang telah dibantu dapat survive di masa pandemi ini. Dana ZIS yang telah disalurkan mencapai angka hampir 800 milyar rupiah dimana 63 persennya disalurkan untuk program darurat sosial ekonomi, 16 persen untuk darurat kesehatan, dan 21 persen untuk menjaga keberlangsungan program existing. Jumlah masyarakat terdampak yang telah dibantu selama masa pandemi ini mencapai angka 5,6 juta jiwa.

Demikian pula wakaf memiliki peran yang tidak kalah penting dalam mendorong pembangunan masyarakat. Sejumlah proyek strategis wakaf telah dikembangkan di Indonesia. Salah satunya adalah RS Mata Achmad Wardi di Banten yang merupakan kolaborasi antara BWI dengan Dompet Dhuafa. Ini adalah contoh wakaf produktif yang memberikan manfaat bagi ribuan warga untuk bisa berobat mata secara terjangkau, dengan kualitas layanan yang baik. Selain itu, kolaborasi antara instrumen sukuk dan wakaf uang dalam bentuk produk Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) juga telah dikembangkan di Indonesia, dan ini menandakan bahwa produk-produk keuangan syariah, baik yang bersifat komersial, sosial maupun kombinasi keduanya, semakin berkembang di Indonesia.

Pada Maret 2020 lalu telah diluncurkan CWLS seri SW001, dimana ini adalah termasuk sukuk negara yang memanfaatkan wakaf uang. Skema CWLS adalah dana wakaf yang dikelola oleh lembaga nazir kemudian ditempatkan pada instrumen sukuk negara, yang nantinya akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai proyek-proyek negara yang telah direncanakan dalam APBN. Pemerintah kemudian memberikan return (imbal hasil) atas penempatan dana tersebut, dimana return atau imbal hasil tersebut kemudian disalurkan kepada para penerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih).

Selain CWLS seri SW001, pemerintah juga telah menerbitkan CWLS seri SWR001, dimana masa penawarannya berakhir pada 12 November 2020 lalu. Pada seri ini, maka individu masyarakat bisa terlibat langsung sebagai wakif, dengan cara menyetorkan dana wakaf minimal Rp 1 juta untuk membeli SWR001 melalui mitra distribusi yang ditunjuk. Dana wakaf yang terhimpun kemudian digunakan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek APBN, dan pemerintah memberikan imbal hasil atau return pada setiap dana wakaf yang disetor. Imbal hasil ini lalu disalurkan kepada para penerima manfaat (mauquf ‘alaih) melalui lembaga nazir yang ditunjuk.

Dengan adanya CWLS ini maka kita bisa berwakaf dengan dua manfaat sekaligus. Wakaf kita bisa ikut membiayai program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah, dan imbal hasil yang diterima bisa digunakan untuk membantu sesama. Penyaluran imbal hasil ini bisa berupa program beasiswa, layanan kesehatan gratis, bantuan modal UMKM, dan program-program lainnya, yang dikelola dan dikembangkan institusi nazir yang ditunjuk. Konsep wakaf yang digunakan dalam CWLS adalah wakaf muaqqot (sementara/temporer) dan bukan wakaf muabbad (abadi). Maksudnya, dana wakaf yang disetor ini memiliki tenor waktu, yang nantinya akan dikembalikan kepada wakif saat jatuh tempo. Untuk CWLS seri SWR001 misalnya, tenornya adalah dua tahun sehingga pada November 2022, dana wakaf tersebut akan dikembalikan kepada wakif. Namun insya Allah, dampak dari wakaf muaqqot ini akan bersifat abadi, selama proyek negara tersebut masih bisa digunakan oleh rakyat Indonesia.

Agar peran zakat dan wakaf semakin signifikan ke depan, maka literasi publik terhadap ZISWAF ini perlu ditingkatkan. Hasil survey Indeks Literasi Zakat (ILZ) yang dipublikasikan Pusat Kajian Strategis BAZNAS dan Kementerian Agama (2020) menunjukkan bahwa tingkat literasi zakat masyarakat berada pada kategori moderat (menengah), dengan nilai 66,78. Berdasarkan hasil ILZ ini diketahui bahwa nilai pemahaman dasar tentang zakat berada pada kategori moderat (skor 72,21) dan pemahaman lanjutan tentang zakat berada pada kategori rendah (skor 56,68). Dari pemahaman dasar tentang zakat, skor yang paling tinggi adalah pada variabel pemahaman zakat secara umum (skor 84,38 kategori tinggi) dan variabel pemahaman ashnaf zakat (skor 81,29 kategori tinggi). Adapun skor terendah adalah variabel pemahaman obyek zakat (skor 56,54 kategori rendah).

Adapun hasil survey Indeks Literasi Wakaf (ILW) yang dipublikasikan BWI dan Kementerian Agama (2020) menunjukkan bahwa tingkat literasi wakaf masyarakat berada pada kategori rendah, dengan nilai 50,48. Hasil ILW juga menunjukkan bahwa baik pemahaman dasar publik tentang wakaf maupun pemahaman lanjutan tentang wakaf, keduanya berada pada kategori rendah dengan nilai masing-masing 57,67 dan 37,97.

Hasil ILZ dan ILW ini mengindikasikan bahwa peningkatan literasi zakat dan wakaf menjadi satu keharusan dan kebutuhan. Perlu dilakukan sejumlah langkah terobosan yang kreatif dan mampu mendongkrak literasi masyarakat. Ini sangat penting karena literasi mempengaruhi partisipasi dan keterlibatan publik dalam menunaikan ibadah ZISWAF-nya. Potensi ZISWAF yang besar akan dapat dioptimalkan ketika publik memiliki kesadaran yang tinggi untuk mau ber-ZISWAF. Kombinasi literasi pengambil kebijakan dan masyarakat secara umum, adalah kunci strategis yang perlu mendapat perhatian kita semua. Peningkatan literasi keduanya akan mensinkronkan pendekatan top down dan bottom up dalam pembangunan ZISWAF nasional.

Irfan Syauqi Beik

Sitasi :
Beik, I.S. 2020. Omnibus Law Cipta Kerja dan Masa Depan ZISWAF, dalam Majalah Risalah No. 09 Th 58 Rabiu’ul Akhir 1442 / Desember 2020, hal. 21-26

Kategori

Lebih Lanjut